Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Oleh karena itu, menurutnya, konsep pemerintah ingin menyederhanakan bisnis di sektor haji dan umrah sangat tidak selaras dan tidak ‘nyambung’.
Mustolih mengatakan, seharusnya jika ingin menata sektor haji dan umrah lebih mudah, efesien dan menarik investor yang mestinya dicabut dan direvisi adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang selama ini mengganjal dan menghambat investasi dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Baca Juga: Mendapat banyak kritikan, Menkominfo jelaskan maksud RUU Omnibus Law Cipta Kerja
Kedua PMA tersebut sangat menghambat investasi, karena pelaku usaha yang mendapat izin PPIU dari Kemenag harus memiliki izin operasi sebagai biro perjalanan wisata umum dari dinas Pariwisata yang berusia minimal 2 tahun. Kemudian untuk menjadi penyelenggara haji plus/khusus (PIHK) terlebih dahulu harus menjadi PPIU yang pernah memberangkatkan Jemaah paling singkat selama 3 (tiga) tahun dengan kuantitas jemaah sedikitnya 300 orang.
"Syarat-syarat semacam ini yang perlu segera disingkirkan oleh pemerintah karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut serba mudah dan cepat," terangnya.
Baca Juga: Anggota DPR dari fraksi PKS nilai pemerintah belum perlu revisi APBN 2020
Maka bila semangatnya easy of doing business (EoDB) PMA tersebut harus dicabut atau direvisi. Investor dimudahkan dengan cara menghapus syarat-syarat yang menghambat.
Bahkan bila pemerintah memang benar serius ingin memangkas hambatan usaha, izin untuk mendapatkan travel umrah dan haji khusus mestinya bisa diproses dan dikeluarkan secara bersama-sama dengan jangka waktu yang secepat-cepatnya.
Maka keliru, Mustolih melanjutkan, bila arah omnibus law justeru melemahkan kedudukan dan perlindungan hukum terhadap Jemaah haji dan umrah yang dalam hal ini berperan sebagai konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News