CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.386.000   -14.000   -1,00%
  • USD/IDR 16.295
  • IDX 7.288   47,89   0,66%
  • KOMPAS100 1.141   4,85   0,43%
  • LQ45 920   4,23   0,46%
  • ISSI 218   1,27   0,58%
  • IDX30 460   1,81   0,40%
  • IDXHIDIV20 553   3,30   0,60%
  • IDX80 128   0,57   0,44%
  • IDXV30 130   1,52   1,18%
  • IDXQ30 155   0,78   0,50%

OECD: Kebijakan Burden Sharing Saat Krisis Akan Lemahkan Kredibilitas BI


Sabtu, 10 Juni 2023 / 14:41 WIB
OECD: Kebijakan Burden Sharing Saat Krisis Akan Lemahkan Kredibilitas BI
ILUSTRASI. Kebijakan burden sharing Bank Indonesia (BI) dan pemerintah saat krisis ekonomi jadi sorotan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).


Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan burden sharing Bank Indonesia (BI) dan pemerintah saat krisis ekonomi jadi sorotan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Seperti kita tahu, BI harus siap siaga memberi utang pada pemerintah bila terjadi krisis, dengan skema pembelian surat berharga negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana.

Ini tertuang dalam Pasal 36A Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

OECD kemudian menyoroti keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut.

Dalam laporan OECD Economic Outlook edisi Juni 2023, lembaga tersebut bilang langkah ini akan melemahkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter dan menimbulkan dilema kebijakan.

Memang, dalam pasal 36A ayat (1) huruf A, disebutkan pembelian SBN berjangka panjang di pasar perdana oleh BI untuk penanganan masalah sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.

Baca Juga: OECD Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Menjadi 2,7% di Tahun 2023

Namun, bila menilik ke belakang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menegaskan langkah ini tidak akan menimbulkan moral hazard BI.

Pasalnya, langkah BI hanya dilakukan pada saat terjadi krisis, bukan setiap saat.

"Ini tidak akan menimbulkan moral hazard. Bukan berarti setiap nanti ada defisit, kami minta burden sharing. Tidak seperti itu,” tegas Sri Mulyani saat ditemui awak media, setelah pengambilan keputusan UU P2SK.

Krisis yang dimaksud oleh pemerintah adalah krisis luar biasa. Sejauh ini, bisa diartikan kondisi genting yang mengancam stabilitas sistem keuangan, sektor perekonomian, dan memberi dampak luas.

Dengan demikian, memang perlu satu suara terkait definisi krisis sehingga tidak ada penyalahgunaan. Sri Mulyani bilang, definisi krisis nantinya akan diatur dalam peraturan turunan.

“Makanya penting definisi krisis dalam peraturan turunan. Apa yang bisa merangsang situasi krisis. Sehingga, ini tidak mudah disalahgunakan,” tambahnya.

Bendahara negara menambahkan, salah satu contoh kriteria krisis adalah pada saat krisis keuangan 1997 dan 1998, kemudian tahun 2020.

Pada tahun 2020, perekonomian Indonesia keok akibat pandemi Covid-19. Di sini pun, BI turun tangan untuk membeli SBN di pasar perdana atau yang akrab disebut dengan skema burden sharing untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Baca Juga: Ketidakpastian Tinggi, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2023 Berpotensi Melambat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×