Reporter: Epung Saepudin | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Kejaksaan Agung yang tetap ngotot memiliki kewenangan melakukan Upaya Peninjauan Kembali, dinilai beberapa pengamat hukum sebagai tindakan yang arogan. Pasalnya, PK sendiri merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana atau ahli warisnya dan bukan kewenangan jaksa.
"PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, diberikan kepada warga negara yang yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK," kata Pengamat Hukum Adami Chazawi, kala dihubungi wartawan Kamis (11/3). Menurut Adami, jika PK digunakan jaksa sama artinya melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tak bersalah.
Kesalahan pengajuan PK oleh jaksa terjadi sejak masa Orde Baru manakala jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK itu dikabulkan bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA). Ia menilai, MA juga telah salah mengartikan PK dengan memberi kesempatan kepada jaksa mengajukan PK manakala pengadilan mengajukan putusan bebas.
Kesalahan kejaksaan dalam mengajukan PK juga terlihat dari putusan bebas terhadap Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Tangerang. Dalam kasus itu, jaksa memaksakan mengajukan PK karena menilai Prita tak layak bebas. "PK tidak bisa diajukan atas putusan bebas," tegas Ahli hukum pidana UI Prof Indrianto Senoaji.
OC Kaligis, selaku Kuasa Hukum Prita Mulyasari, mengatakan bahwa jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh undang-undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan yang tidak benar.
"KUHAP hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau Negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News