Reporter: Adi Wikanto, Asnil Bambani Amri, Djumyati Partawidjaja, Lidya Yuniartha | Editor: Asnil Amri
Liputan dampak iklim ke industri dan buruh ini mendapatkan dukungan dari Pulitzer Center
KONTAN.CO.ID - Jarum jam di tangan Yanto Suyanto sudah melewati pukul 11.00 WIB. Cucuran keringat mengalir di sela-sela pori-pori tubuh Yanto yang bekerja bertelanjang dada karena panas. Abu tipis muncul dari semburan mesin potong asbes di sekitarnya. Selembar masker medis menempel di mulutnya, membantu Yanto membatasi abu asbes masuk ke paru-parunya.
"Semakin ke sini, suhu udaranya semakin panas," cerita Yanto yang mengisahkan bagaimana perjuangannya bekerja di dalam pabrik asbes kepada KONTAN akhir Oktober 2024 lalu. Yanto bekerja di pabrik asbes sejak tahun 2007 lalu. Sejak itulah, Yanto merasakan panas di dalam pabrik, namun panas di sembilan bulan 2024 jauh lebih tinggi dari panas tahun sebelumnya.
Yanto hanya bisa menggambarkan panasnya dalam pabrik itu. Karena panas, mereka lebih banyak minum. Untuk satu galon air berukuran 19 liter saja bisa kandas hanya dalam tempo 8 jam oleh empat orang pekerja saja. Memang ada pilihan memakai kipas angin, namun tak digunakan karena berdebu.
Suhu panas yang dirasakan Yanto terkonfirmasi dari hasil catatan suhu di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menunjukkan, suhu maksimum harian di Indonesia pada Oktober 2024 ada yang mencapai 37-38 derajat Celsius. "Itu suhu di luar ruang, kami di dalam pabrik lebih panas lagi, karena ada mesin pabrik dan ruang yang minim ventilasi serta pakai atap transparan," keluh buruh pabrik asbes di Kabupaten Karawang, Jawa Barat itu kepada KONTAN.
Selain itu, saat bekerja Yanto tak bisa keluar ruangan, ia harus berada dalam pabrik asbes itu selama 8 jam, bahkan harus makan dan minum di ruangan pabrik yang panas dan berdebu. Karena panas itu pula, Yanto memaklumi jika ada temannya sakit tipes dan juga ada yang sakit paru-paru. "Ada teman kami juga yang meninggal, tetapi kami tidak tahu apakah karena panas itu atau karena yang lain," jelas Yanto.
Apa yang dikeluhkan Yanto juga dirasakan Asmawati (48 tahun) di Penjarigan, Jakarta Utara. Perempuan yang bekerja sebagai buruh harian di pabrik pengolahan ikan di Kawasan Industri Perikanan Nizam Zaman itu bilang, anak bungsunya yang masih balita kerap rewel kesulitan tidur karena suhu panas. "Mau siang atau malam suhunya panas sekali," kata Asmawati yang tinggal di kontrakan 3 x 4 meter tanpa jamban itu.
Kontrakan milik Asmawati hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai yang ditanggul setinggi 2 meter. Kontrakan berbentuk panggung, karena air laut kerap rembes dan menggenangi lokasi di sekitar kontrakan. Jika air laut sedang naik, Asmawati bisa menyaksikannya dari sela-sela dinding triplek kontrakannya. Ada lampu LED berukuran 10 watt tergantung di bawah atap asbes sebagai sumber cahaya saat malam datang.
Di atas lantai kayu kontrakan itu ada kasur yang menipis karena sering dipakai. Di atas kasur itu tergeletak anak kecil bertelanjang dada tidur siang. Sebuah kipas kecil menderu mengantarkan angin ke tubuh anak bungsu Asmawati itu. "Habis hujan, jadi bisa tidur enak. Biasanya rewel karena panas," kata Asmawati yang bekerja membersihkan sisik ikan dengan upah Rp 50.000 - Rp 120.000 per hari itu.
Tak hanya anak, ia dan suami mengeluhkan panas berlebih. Karena panas, waktu istirahatnya terkadang tak maksimal sehingga berpengaruh pada produktivitasnya dalam membersihkan ikan di tempat kerja. "Saat istirahat kurang, kerja tak maksimal dan gajinya sedikit,” kata Asmawati meneteskan air mata.
Pun demikian saat hujan datang mendera. Asmawati harus berjibaku dan harus membawa pakaian cadangan untuk berangkat bekerja. Banjir dan rob yang kerap melanda pesisir utara membuat Asmawati harus menerjang banjir untuk sampai ke tempat kerjanya, pabrik pengolahan ikan yang memasok untuk kebutuhan restoran. Gatal dan ancaman penyakit kulitpun sudah menjadi pengalaman hariannya.
Perempuan yang kini menjadi tulang punggung keluarga itu hanya bisa pasrah, sembari berharap pemimpin dan pembuat kebijakan memikirkan nasibnya dan masa depan anak-anaknya. Ia juga berharap tetap diberikan kesehatan, agar bisa kuat menembus banjir dan terlelap dengan kipas angin kecil di sudut ruangannya, yang menyala 24 jam untuk menemani gerahnya udara Jakarta.
Aryana Satya, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia bilang, ada jutaan buruh di Indonesia yang rentan terdampak iklim ini. "Pemerintah dan serikat pekerja harus duduk bersama mencari jalan keluar dampak iklim ini. Bikin batasan suhu tertinggi di tempat kerja, karena suhu tinggi berdampak bagi kesehatan dan produktivitas juga," terang Aryana.
Buruh tak berdaya
Tri Wiguna hanya menggeleng kepala saat ditanya mengenai nasib ratusan anggota serikat pekerja yang dipimpinnya. Tri adalah ketua serikat pekerja di salah satu pabrik manufaktur yang memproduksi kamper, obat anti serangga di wilayah Pluit, Jakarta Utara. Pabrik tempat Tri bekerja berjarak hanya 2 kilometer dari bibir pantai dan sejak Juli 2024 lalu menutup operasinya.
Saat pabrik tutup, Tri bersama 120 orang anggotanya menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) karena mesin pabrik tidak lagi menyala. Ia sempat bersengketa di meja perundingan soal hak pesangon, namun Tri dan anggotanya pasrah dengan tawaran pesangon perusahaan yang jauh di bawah ideal.
"Saya sudah tidak tega negosiasi lagi, semakin lama negosiasi semakin lama buruh tak punya penghasilan," kata Tri saat ditemui KONTAN di sekretariatnya September 2024 lalu. Sejak PHK massal sepabrik itu terjadi, ratusan buruh anggotanya berusaha mencari pekerjaan sejenis. Namun sayang, tak banyak peluang bagi mereka karena tak ada investasi atau ekspansi industri serupa.
Itulah mengapa Tri menggeleng ketika ditanya kondisi anggotanya. Ia tak tahu lagi nasib anggotanya yang belasan tahun menemaninya bekerja di pabrik yang sudah berdiri sejak tahun 1985 itu. Yang diketahuinya, sebagian anggotanya memilih pulang kampung ke Jawa Tengah, sebagian lagi mencari kerja di sektor informal.
"Sudah bisa dipastikan, tak banyak lagi industri manufaktur di wilayah Pluit, karena rawan banjir," kata Tri yang pernah bekerja seharian menimba air dari area pabrik yang kebanjiran. Karena tak sesuai perjanjian kerja, maka jerih payah itu tak pernah dihitung perusahaan.
Karena banjir itulah kenapa Tri dan ratusan buruh di PHK. Pemilik usaha kamper itu memilih merelokasi pabriknya ke tempat yang lebih aman dari banjir yang kerap melanda perusahaan. "Jika musim hujan, kami kesulitan datang ke pabrik bahkan sepeda motor kerap rusak karena banjir," kata Tri.
Memang sempat ada solusi dari perusahaan yang menyewa lapangan parkir untuk buruh. Namun masalahnya, akses menuju tempat parkir itu tak bisa dilewati karena banjir. Alhasil, buruh berangkat kerja menyewa gerobak atau nekat basah dengan risiko penyakit.
Kondisi itu terjadi menahun, alias setiap musim hujan, yang biasanya terjadi di akhir tahun sampai awal tahun. "Perusahaan juga rugi, karena mesin pabrik berhenti karena khawatir menyetrum pekerja," kisah Tri menceritakan aktivitasnya jika pabrik kebanjiran.
Kini aktivitas itu tak lagi dilakukan Tri, karena pabrik sudah tak beroperasi lagi. Pabrik itu memindahkan alat produksinya sejauh 53 kilometer dari Pluit, tepatnya di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. "Ada tawaran pindah, tapi mesti resign dulu sehingga dianggap karyawan baru. Kawan-kawan buruh menolak itu," kata Tri.
Sebelum memutuskan relokasi, perusahaan pernah menambah ketinggian lantai pabrik. Namun hanya tahan beberapa tahun saja, ketinggian air akibat banjir kembali mengejar ketinggian lantai. "Investasi bertambah, belum lagi bayar sewa parkir untuk parkir sepeda motor karyawan," ujar Tri.
Agar mampu bertahan di Jakarta, Tri memutuskan untuk memulangkan istri dan anaknya ke Jawa Tengah. Pilihan ini dilakukan karena ia berstatus pengangguran dan belum punya pekerjaan tetap. Sembari mencari lowongan kerja, anak dan istrinya dititip pada keluarganya di kampung halaman.
Kisah Tri hanya salah satu dari sekelumit kisah buruh di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa yang kerap kebanjiran karena dampak iklim. Perubahan iklim menambah ketinggian air laut dan meningkatkan intensitas curah hujan yang berakibat pada kebanjiran.
Selain Tri, ada ribuan pekerja manufaktur yang menjadi korban PHK sepanjang Januari-Oktober 2024. Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah PHK dalam 10 bulan 2024 tersebut mencapai 63.947 orang, sebanyak 14.501 orang diantaranya korban PHK di Jakarta dan 8.508 orang korban PHK di Jawa Barat dan 12.489 korban PHK di Jawa Tengah.
Iklim jadi momok
Banjir memang menjadi momok di di Indonesia. Bahkan, jumlah kejadian banjir di Indonesia lebih banyak dibandingkan bencana lainnya. Tingkat keparahan banjir terus meningkat setidaknya sejak awal 2000. "Dalam 30 tahun terakhir, ini 98% hingga 99% bencana di Indonesia itu merupakan climate related, bencana yang disebabkan oleh iklim, baik basah maupun kering," kata Abdul Muhari, Kepala Pusat data dan Informasi BNPB kepada KONTAN bulan Oktober lalu.
Sepanjang Januari-Oktober 2024, terdapat 1.560 kejadian bencana, dan 54% diantaranya adalah banjir dengan 843 kejadian. Adapun tahun 2023, terjadi 5.400 bencana, dan banjir sebanyak 1.255 kejadian dan cuaca ekstrem 1.261 kasus. Tahun 2022 terjadi 3.544 bencana, sebanyak 1.531 kejadian adalah banjir dan 1.068 adalah cuaca ekstrem.
Nah, banjir juga rutin melanda kawasan industri. Selain merugikan pelaku usaha, kelompok pekerja juga menanggung nestapa. Selain PHK, ada juga kejadian dampak iklim yang langsung dirasakan pekerja. Seperti banjir di Pabrik PT Longrich Indonesia, di Desa Sidaresmi, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada Rabu (6/3/2024).
Banjir merendam area pabrik, dan merendam ribuan sepeda motor pekerja. Memang, banjir sering terjadi di lokasi pabrik penghasil sepatu untuk ekspor itu, namun banjir di bulan Maret 2024 itu lebih besar dan terjadi secara tiba-tiba. Di dalam pabrik, air sampai sepaha orang dewasa. Sementara ketinggian air banjir di luar pabrik Longrich sampai 170 cm.
"Banjir datang sekitar jam 09.00 WIB saat ribuan karyawan bekerja. Tiba-tiba air masuk ke dalam pabrik seperti air bah. Padahal, sebelum jam 07.00, saat saya akan masuk kerja, belum ada air," kenang Brantas, salah satu karyawan PT Longrich saat berbincang dengan KONTAN September 2024.
Banjir itu terbilang unik karena terjadi saat cuaca cerah. Akan tetapi masalahnya, curah hujan di hulu pabrik lebih tinggi dari biasanya. Alhasil, sungai Cisanggarung yang tak jauh dari pabrik tak mampu menanggung debit air yang tinggi, sehingga sungai meluap dan menggenangi areal sekitar sungai termasuk lokasi pabrik.
Brantas bercerita, tak banyak pekerja yang bisa menyelamatkan motor yang terendam banjir. Habis banjir, pekerja menanggung biaya perbaikan sepeda motor, karena tak ada asuransi atau bantuan dari perusahaan. "Umumnya pekerja mengeluarkan Rp 800.000-Rp 1 juta untuk biaya turun mesin, bahkan ada yang lebih," kata pegawai bagian mekanik itu.
Bak jatuh tertimpa tangga, banjir membuat perusahaan meliburkan buruh sehingga buruh kehilangan pendapatan dari uang kehadiran harian. Dampak banjir juga berbuah derita bagi buruh di Pantura lainnya, seperti yang dialami Karmanto, salah satu pekerja di perusahaan garmen di Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah.
Masalahnya hampir sama, saat banjir datang, alat transportasi mereka terendam banjir, mereka juga tak masuk kerja dan pendapatan dari uang kehadiran mereka dipotong. "Yang paling parah tahun 2023. Motor mogok, terendam banjir dan hanya spion saja yang terlihat," kata salah satu pengurus Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP), saat berbincang dengan KONTAN.
Menurut Karmanto, jika motor sudah terendam banjir, apalagi kena rob, pasti akan rusak. Air rob menyebabkan korosi pada mesin kendaraan. Kabel-kabel juga mudah rusak sehingga memicu konsleting. "Saya sudah korban empat sepeda motor karena dampak banjir," ujar Karmanto yang telah bekerja di utara Semarang itu selama 24 tahun.
Tak hanya Karmanto, cerita yang sama juga banyak dialami buruh di wilayah Semarang Utara yang banyak terdapat industri. Di sisi lain, kejadian banjir dan rob di Semarang sudah tak terhitung jumlahnya.
Kondisi yang tak jauh berbeda juga diceritakan Harno, salah satu buruh PT Cipta Coilindo Kosambi di Tangerang, wilayah Pantura, Banten. Sejak bekerja tahun 2015, pabrik kerap kebanjiran saat hujan datang dan yang terparah terjadi Maret 2024. "Pabrik terendam dan kami harus memindahkan barang pabrik agar tidak terendam," ungkap Harno.
Yang lebih parah, air banjir tak kunjung surut dalam dua hari. Akibatnya, pekerja libur dan kehilangan sumber pendapatan dari uang kehadiran dan uang makan. Target mengejar bonus juga pupus. "Tidak masuk kerja, otomatis tidak ada bayaran," keluh Harno.
Penurunan tanah
Beruntung bagi perusahaan masih bisa bertahan, sehingga buruh seperti Harno, Brantas dan lainnya masih bisa bekerja mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Namun berbeda dengan Nurokhim, pegawai percetakan Republika yang harus rela kehilangan pekerjaan karena Republika mengumumkan penghentian koran cetaknya akhir tahun 2022 lalu.
Saat berhenti cetak, manajemen Republika mengumumkan alasannya karena ada transformasi koran ke media digital. Namun Nurokhim menduga, penyetopan bisnis percetakan koran tak lepas dari banjir yang kerap melanda pabrik percetakannya Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), lokasi yang kerap di landa banjir saat hujan lebat datang.
"Saat banjir datang, mesin berhenti dan pekerja menunggu banjir surut. Jika itu terjadi pekerja kesulitan mencari makan siang," kata Nurokhim. Masalahnya, beberapa tahun terakhir intensitas banjir lebih sering terjadi. Selain mempengaruhi operasional pabrik, banjir juga menyulitkan karyawan berangkat bekerja.
Banyak pekerja di JIEP harus merogoh kocek lebih dalam karena harus naik ojek gerobak, sebagian lagi naik angkutan truk yang lebih tinggi. Pihak pabrik juga demikian, jika ingin bertahan harus menambah ketinggian lantai pabrik dan menambah beban operasional. Jika tidak, mesin tidak bisa menyala karena banjir.
Pilihan kedua adalah, relokasi dan itu tentu butuh modal kuat. Nah, jika industrinya tak mampu mengerjakan keduanya, maka menutup pabrik jadi pilihan. "Secara bisnis tidak bisa dipertahankan, pengusaha mencari pilihan rasional," kata Solihin, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta.
Solihin menggambarkan kondisi kawasan industri langganan banjir seperti Pulogadung dan Cakung yang kini tak sepadat dulu. "Dulu banyak industri di sana, sekarang tinggal berapa banyak manufaktur yang ada di sana?" tanya Solihin.
Dengan kondisi itu, PHK mau tak mau harus dilakukan perusahaan. Tak hanya karena banjir, Solihin bilang, alasan pabrik yang tutup atau relokasi pasti terkait biaya produksi. Mulai dari keluhan upah buruh, biaya logistik dan banjir. "Kalau semua aman saja, mereka tak akan pindah, karena mereka cari keuntungan," kata Solihin.
Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Bidang Klimatologi, Badan Metereologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bilang, ancaman kenaikan permukaan air laut masih mengancam Pantura karena pemanasan global masih berlanjut.
Kenaikan suhu bumi akan menaikkan tekanan air laut ke wilayah Pantura Jawa. "Efek berganda pemanasan global beresiko lebih besar di Pantura Jawa," kata Ardhasena yang menyarankan semua pihak membuat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Adapun Rudy P Tambunan, Ahli Lingkungan dan Tata Ruang dari Universitas Indonesia (UI) menyebutkan, selama ini penanganan dampak perubahan iklim seperti banjir dan rob di Pantura hanya fokus pada objek, seperti bikin tanggul, penimbunan dan lainnya. "Sedangkan subjek belum disentuh sama sekali," kata Rudy.
Karena fokus objek, maka pembangunan dan industrialisasi di Pantura Jawa terus berjalan. Di sisi lain, fasilitas industri dan ekonomi itu tidak didukung prasarana lingkungan. Sehingga saat air laut naik, industri dan infrastruktur tidak punya pertahanan. "Inilah gambaran kota-kota di Pantura Jawa," jelas Rudy.
Dampak perubahan iklim dari kenaikan air laut itu makin sulit diatasi karena adanya penurunan permukaan tanah. Heri Andreas, Pakar Land Subsidence dari Institute Teknologi Bandung (ITB) menyimpulkan, laju kenaikan air laut 6 milimeter per tahun di perparah dengan penurunan permukaan tanah dari 1 cm - 10 cm bahkan lebih per tahun. "Ke depan kondisi ini memperburuk apa yang terjadi di Pantura," kata Heri.
Gabungan dari dampak iklim dan juga penurunan permukaan tanah itulah yang kini berubah rupa menjadi banjir di Pantura. "Terjadilah yang namanya banjir rob, jadi air tumpah ke daratan. Ada yang secara regular, bahkan sekarang sudah secara permanen juga ada," kata Heri.
Yang menjadi masalah, jika industri tak mampu bertahan menghadapi iklim, maka ada jutaan buruh yang akan terdampak. Mereka bekerja di industri di sepanjang Pantura, baik di sektor manufaktur, logistik, transportasi dan maritim.
Keadilan iklim
Buruh bukanlah pihak atau aktor utama di balik perubahan iklim yang terjadi. Namun buruh adalah aktor utama yang paling banyak terdampak akibat perubahan iklim. Buruh harus berjuang menghadapi ruang kerja yang panas, buruh harus melawan banjir untuk bekerja hingga buruh harus kehilangan pendapatan karena tempat usahanya gulung tikar.
Namun di sisi lain, Kahar S Cahtono, Wakil Ketua Kofederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bilang, tak banyak kebijakan terkait dampak iklim yang berpihak kepada buruh. Contoh, ada banyak pabrik yang relokasi atau tutup karena banjir tetapi tidak mempertimbangkan dampak ke buruhnya. “Minim sekali buruh dilibatkan untuk mencari solusi dampak iklim ini,” kata Kahar.
Contoh sederhana lainnya adalah, suhu ruang kerja yang semakin tinggi karena naiknya suhu akibat pemanasan global. Kahar bilang, banyak ruang pabrik di Indonesia tidak menerapkan standar suhu ruang yang aman bagi kesehatan buruh yang bekerja. Padahal, jika suhu ruangan kerja sudah tidak nyaman, maka imbasnya akan berdampak pada produktivitas.
“Maka itu, KSPI menekankan standar suhu ruang (ruangan kerja) antara 24 derajat celcius - 25 derajat celcius. Kami mendorong ini harus dipenuhi. Anggota KSPI bekerja di manufaktur, seperti di peleburan, produksi dan mereka bekerja dalam ruang yang cukup pengap,” kata Kahar.
Memang, ada perusahaan yang memperhatikan usulan pekerja tersebut, namun banyak juga yang mengabaikannya. Kebanyakan dari perusahaan yang mengabaikan standar suhu ruangan kerja itu sebagai uang keluar bagi perusahaan. “Ada juga perusahaan yang menganggap bahwa ini menambah beban produksi atau menambah biaya operasional perusahaan,” ungkap Kahar.
Kahar juga meminta pemerintah tidak hanya meratapi iklim, tetapi juga kreatif membuka peluang usaha baru yang bergerak di aktivitas ekonomi hijau. Dengan perkembangan ekonomi hijau itu, setidaknya lapangan kerja baru untuk ekonomi hijau juga bisa melenggang. “Kami ingin ada lapangan kerja baru bisa terbuka,” harap Kahar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News