Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
Dengan banyaknya beban utang tersebut, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pembayaran ULN pemerintah setelah pandemi Covid-19 berakhir masih akan didominasi dengan cara pembiayaan melalui penerbitan surat utang.
"Apalagi jika melihat dari imbal hasil (yield) surat utang Indonesia yang saat ini masih relatif menarik, sehingga masih akan diandalkan pemerintah untuk membayar ULN pasca Covid-19," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (1/5).
Baca Juga: Produksi susu segar nyaris stagnan dalam 20 tahun terakhir
Namun demikian, kata Yusuf, selama vaksin belum ditemukan tentu perebutan likuiditas masih akan relatif ketat antara negara emerging market. Untuk itu, dalam membayar utang pemerintah perlu mendorong agar penggunaan utangnya digunakan untuk hal yang lebih produktif, sehingga bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi.
Apabila peningkatan kinerja ekonomi, yang diukur dari PDB, bisa lebih besar daripada peningkatan laju nominal utang maka pemerintah bisa menjaga target rasio utang terhadap PDB di bawah 40%.
Yusuf menilai, rasio ini juga merupakan indikator penting yang dilihat oleh investor. Selain rasio utang terhadap PDB, bunga utang juga perlu dipertimbangkan pemerintah dalam membayar utang ke depannya setelah pandemi Covid-19.
"Pemerintah bisa memanfaatkan momentum suku bunga yang saat ini relatif rendah dengan melakukan debt-switch terhadap utang-utang dengan bunga yang lebih rendah. Hal ini perlu dilakukan agar belanja bunga utang tidak menjadi beban berlebih dalam APBN," paparnya.
Baca Juga: Kemenkeu: Porsi penerbitan SBN ritel pertimbangkan aspek permintaan
Adapun penggunaan utang untuk hal yang lebih produktif ini, misalnya digunakan untuk melanjutkan program hilirisasi industri. Yusuf menjelaskan, caranya bisa dilakukan dengan menambah dana penelitian untuk industri, subsidi gas dan listrik, sampai dengan peningkatan logistik nasional.
Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa dikerek dan ekspor produk manufaktur dengan nilai tambah yang lebih besar bisa ditingkatkan. Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan ekspor manufaktur ini juga akan berkorelasi dengan debt to service ratio (DSR) alias rasio utang pemerintah.