kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengkhawatirkan, tren penurunan penyerapan tenaga kerja terjadi sejak 4 tahun lalu


Kamis, 08 Agustus 2019 / 16:53 WIB
Mengkhawatirkan, tren penurunan penyerapan tenaga kerja terjadi sejak 4 tahun lalu


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masyarakat sepertinya makin sulih mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut dibuktikan dengan tren penyerapan tenaga kerja di Indonesia yang makin terkikis dalam empat tahun terakhir.

Berdasarkan data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) perkembangan penyerapan tenaga kerja dari investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMD) melambat. Dalam empat tahun terakhir, terjadi penurunan di tiap kuartal II.

Baca Juga: Tanpa Penghasilan Tambahan, Konsumen Semakin Pesimis

Pada kuartal II-2015 jumlah penyerapan tenaga kerja mencapai 370.945 orang. Kuartal II-2016 sebanyak 354.739 orang. Kuartal II-2017 sebesar 345.293 orang. Kuartal II-2018 sejumlah 289.843 orang. Selanjutnya jatuh ladi pada kuartal II-2019 yakni 235.314 orang.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang penyebab penyerapan tenaga kerja makin sedikit lantaran sektor sekunder yakni manufaktur tumbuh melambat beberapa tahun ke belakang. Sehingga industri padat karya seperti tekstil, perkayuan dan olahannya, kertas, dan kimia mengurangi keterbukaan tenaga kerja.

Indikasi yang terjadi adalah tren investor saat ini lebih memilih menaruh investasinya dalam industri padat modal. Di mana aktifitas produksinya cenderung menekankan dan tergantung pada penggunaan mesin-mesin dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja manusia. 

Josua menyebut tren investor memang akan cenderung masuk ke industri padat modal ketimbang padat karya. “Produktivitas tenaga kerja industri olahan turun dan biaya karyawan semakin tinggi karena semakin banyak secara jumlah,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (8/8).

Baca Juga: Inpex kebut proyek Masela, kini sosialisasi Amdal dan konsultasi publik

Apalagi saat ini sudah memasuki revolusi industri 4.0. Sehingga indikasi ketergantian manusia dengan mesin-mesin atau robot semakin terasa. Kata Josua sumber daya manusia belum bisa bersaing dengan negara lain, dalam industri 4.0 pun membutuhkan masih ada tenaga kerja manusia tapi keterampilannya berbeda.

Baca Juga: Sederet Proyek Siap Digarap Radiant Utama Interinsco (RUIS) Semester II 2019

Industri pengolahan memang terbukti dapat menyerap tenaga kerja paling banyak, tapi ada solusinya. Josua menilai salah satu alternatif yang bisa dilakukan pemerintah adalah menggenjot investasi di sektor jasa lewat industri pariwisata.

Industri pariwisata juga menjadi fokus Presiden RI Joko Widodo  (Jokowi) dalam periode kepemimpinan 2019-2024 yang tereflesikan dalam program 10 Bali Baru. Sehingga, industri pariwisata berpotensi membuka lapangan tenaga kerja yang cukup besar. 

Josua mengatakan tetap butuh pelatihan guna mengasah keterampilan tenaga kerja dalam rangka memindahkan buruh pabrik olahan ke pariwisata. “Selain itu, pemerintah juga perlu menyokong Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM),” kata Josua.

Baca Juga: Makin meluas, 14.000 pekerja Hong Kong akan mogok massal menolak UU ekstradisi

Catatan Josua, industri pariwisata harus selaras dengan pertumbuhan infrastruktur. Sehingga bisa membuat akses menuju kawasan pariwisata lebih mudah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×