Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dikabarkan tengah menyiapkan regulasi untuk melakukan penunjukan kepada marketplace sebagai pemungut pajak.
Menurut sumber Reuters, dalam aturan baru nanti, platform e-commerce akan diminta untuk memotong dan meneruskan pembayaran pajak kepada otoritas pajak sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan pelapak dengan omzet tahunan antara Rp 500 juta dan Rp 4,8 miliar.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Insititute, Ariawan Rahmat menilai bahwa rencana pemerintah menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh Final bagi pelaku usaha daring bukanlah bentuk kenaikan tarif pajak, melainkan perubahan mekanisme pemungutan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di sektor ekonomi digital.
Baca Juga: Muncul Wacana Marketplace Jadi Pemungut Pajak, Asosiasi E-Commerce Buka Suara
Ia menjelaskan, secara substantif, tarif PPh Final bagi UMKM online tetap sama, namun dengan rencana baru, pemungutannya akan dilakukan secara otomatis oleh platform marketplace sebagai pemotong pajak (withholding tax).
Langkah ini dipandang sebagai strategi DJP untuk meningkatkan kepatuhan, mengingat masih banyak pelaku e-commerce yang abai terhadap kewajiban perpajakan.
"Dengan pendekatan witholding tax melalui sistem potong di source oleh marketplace ini, DJP berharap bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Rabu (25/6).
Ia berharap aturan baru ini nantinya sekaligus merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 agar memiliki kepastian hukum yang jelas.
Menurutnya, dari sisi potensi, kebijakan ini cukup menjanjikan. Dengan transaksi e-commerce mencapai sekitar Rp 487 triliun pada 2024, dan jika setidaknya separuhnya berasal dari pelaku UMKM, maka potensi penerimaan pajak bisa mencapai sekitar Rp 1,2 triliun.
Baca Juga: Kemendag Tegaskan Tidak Ada Produk China Masuk Lewat Marketplace
Namun demikian, Ariawan mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan kompleksitas baru. Literasi pajak pelaku UMKM masih rendah, kesiapan sistem marketplace belum seragam, dan ada risiko beban administratif yang meningkat.
Di sisi lain, wacana kebijakan ini juga bisa mempengaruhi kenaikan harga barang/jasa. Padahal, konsumen online Indonesia sangat sensitif terhadap harga.
"Survei menunjukkan sekitar 72% konsumen memilih belanja online karena harga lebih murah dibanding toko fisik. Jika di online harga tidak lagi kompetitif maka mereka akan kembali ke toko fisik," katanya.
Bahkan, menurut Ariawan, ada potensi pelaku UMKM kembali ke jalur penjualan non-platform seperti media sosial yang lebih sulit diawasi oleh Otoritas Pajak.
Menutup pernyataannya, Ariawan menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam melakukan sosialisasi kebijakan perpajakan ini.
Ia menegaskan, di tengah ekonomi yang sedang tidak stabil, daya beli menurun, sulitnya lapangan kerja, narasi kebijakan pajak harus dilakukan dengan bijak agar tidak kontraproduktif.
Baca Juga: Kemendag Tegaskan Tidak Ada Produk China Masuk Lewat Marketplace
"Pemerintah perlu menyeimbangkan dua tujuan, yaitu menjaga agar konsumen tidak terlalu terbebani, namun tetap menegakkan kepatuhan pajak yang adil. Pemerintah dan platform e-commerce sebaiknya mensosialisasikan perubahan ini dengan jelas, sehingga konsumen memahami betul," pungkasnya.
Selanjutnya: DLH Jakarta Jalankan Pilot Project Pengelolaan Sampah di 6 Kelurahan
Menarik Dibaca: DLH Jakarta Jalankan Pilot Project Pengelolaan Sampah di 6 Kelurahan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News