kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.889   41,00   0,26%
  • IDX 7.204   63,03   0,88%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,63   1,34%
  • ISSI 221   0,93   0,42%
  • IDX30 449   6,38   1,44%
  • IDXHIDIV20 540   5,74   1,07%
  • IDX80 127   1,43   1,14%
  • IDXV30 135   0,66   0,49%
  • IDXQ30 149   1,74   1,18%

Melihat Ketimpangan Tajam Antara Pajak Karyawan dan Orang Kaya di Indonesia


Minggu, 19 November 2023 / 13:51 WIB
Melihat Ketimpangan Tajam Antara Pajak Karyawan dan Orang Kaya di Indonesia
ILUSTRASI. Wajib pajak mencari informasi mengenai program PPS di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Senin (7/3/2022). Melihat Ketimpangan Tajam Antara Pajak Karyawan dan Orang Kaya di Indonesia,


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, pemerintah mengotak-atik rincian target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023.

Salah satu yang menarik perhatian ada pada perubahan target pajak penghasilan (PPh). Dalam beleid tersebut, pemerintah mengerek target PPh Pasal 21 yang identik dengan karyawan menjadi Rp 201,8 triliun. Target tersebut meningkat 17,23% jika dibandingkan dengan target awal sebesar Rp 172,13 triliun.

Sebaliknya, justru pemerintah menurunkan target PPh Pasal 25/29 orang pribadi (OP) menjadi Rp 12,17 triliun. Target ini turun 11,03% jika dibandingkan dengan target dalam Perpres 130/2022 sebesar Rp 13,68 triliun.

Baca Juga: Robert Kiyosaki Bocorkan 5 Alasan Mengapa Orang Kaya Tidak Bekerja Demi Duit

Padahal, jenis pajak ini mencerminkan kontribusi orang kaya terhadap penerimaan pajak, di mana mereka mendapatkan penghasilan di luar gaji atau sering disebut non karyawan.

Berdasarkan riset KONTAN, faktanya sumbangan PPh Pasal 25/29 OP hanya sekitar 0,8% atau sebesar Rp 10,62 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.387,78 triliun hingga September 2023.

Angka ini tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan sumbangan PPh 21 alias pajak karyawan yang menyumbang sebesar Rp 154,90 triliun atau 11,2% dari total penerimaan pajak.  Ini menjadi cermin bahwa kepatuhan pajak di kalangan karyawan atau pekerja formal jauh lebih baik jika dibandingkan kepatuhan orang kaya.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat sangat menyayangkan adanya perbedaan antara pajak karyawan dan pajak si kaya.

Baca Juga: Total kekayaan 1% orang-orang terkaya di dunia meningkat, kesenjangan semakin curam

Padahal menurutnya, otoritas pajak perlu memaksimalkan pungutan dari wajib pajak orang kaya tersebut yang terbukti kebal diterpa resesi. Tidak hanya bisa menjadi sumber penerimaan pajak yang bisa diandalkan, langkah ini juga berpotensi menurunkan ketimpangan atau gini ratio.

"Memang kebijakan ini perlu ditanyakan langsung kepada pemerintah, mengingat sebelumnya juga pungutan pajak dari wajib pajak orang pribadi kelas atas alias orang kaya terbukti kebal diterpa resesi," ujar Ariawan kepada Kontan.co,id, Jumat (17/11).

"Seharusnya mereka adalah salah sumber penerimaan pajak yang bisa diandalkan, alih-alih malah direvisi. Ini juga untuk menjaga ketimpangan atau gini ratio," imbuhnya.

Ariawan menyebut, penerimaan PPh Pasal 25/29 OP saat pandemi Covid-19 terjadi pun terbukti tahan banting. Tercatat, penerimaan PPh Pasal 25/29 OP pada 2020 mencapai Rp 11,56 triliun atau setara dengan 112,92% terhadap target yang ditetapkan oleh pemerintah.

Baca Juga: Pengenaan PPnBM atas sektor properti dinilai sudah kuno

Artinya, pajak orang kaya juga menjadi satu-satunya jenis pajak utama yang mampu tumbuh positif di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. "Maka menurut saya penurunan (target PPh 25/29 OP) ini kurang tepat," terang Ariawan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto juga sependapat bahwa pemajakan wajib pajak di sektor informal masih perlu lebih dioptimalkan.

Menurutnya, pemerintah sudah banyak memiliki sumber daya, mulai dari pasokan data hasil pertukaran informasi serta dari program pengungkapan sukarela (PPS). Nah, ini seharusnya bisa menjadi tantangan dan peluang untuk mengoptimalkan sumber penerimaan dari wajib pajak orang pribadi.

"Saya berpendapat pemajakan wajib pajak yang ada di sektor informal masih perlu lebih dioptimalkan," kata Wahyu.

Ia menjelaskan, tren pertumbuhan penerimaan PPh 21 sepanjang tahun ini cukup stabil dan tumbuh positif. Misalnya pada kuartal I-2023 penerimaan PPh 21 tumbuh 21,6%, kuartal II-2023 tumbuh 15,6%, serta kuartal III-2023 juga masih tumbuh positif.

Menurut Wahyu, tren pertumbuhan ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah wajib pajak karyawan lebih mudah melaksanakan kewajiban pajaknya, lantaran PPh 21 dipotong  secara langsung oleh perusahaan.

"Jadi tidak ada isu soal kesulitan administrasi," jelasnya.

Baca Juga: Wacana PPN atas sembako, 87% netizen tidak setuju

Sebaliknya, tren penerimaan PPh Pasal 25/29 OP relatif lebih banyak mengalami koreksi. Berdasarkan perhitungannya, PPh OP pada kuartal I-2023 masih tumbuh positif sebesar 12,7%. Namun pada kuartal II-2023 tumbuh -17%, Juli tumbuh -17%, Agustus -1,9% dan pada September 2023 kembali positif.

Tim Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani sependapat dengan pemerintah dalam hal mengerek target pajak karyawan. Menurut Ajib, target yang dikerek 17,23% tersebut menjadi cermin bahwa pemerintah berupaya mengoptimalkan pemotongan di pemberi kerja atau dikenal sebagai intensifikasi.

"Di samping itu juga didukung dengan lapisan atas 35%, ini menyumbang kenaikan pula," jelas Ajib.

Sebaliknya, penurunan target PPh 25/29 OP dapat dimaklumi lantaran selain batas bawah tarif PPh dinaikkan dari semula 5% sampai dengan Rp 50 juta menjadi 60 juta, sehingga berpotensi menurunkan jumlah kurang bayar.

Baca Juga: Keluarga kaya semakin menimbun kekayaan

"Dan sejalan dengan itu pula, dengan menghadang potensi di awal yakni jika saat penerimaan penghasilan dipotong PPh 21, ini mengakibatkan jumlah kurang bayarnya bisa ditekan lebih kecil," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×