kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.924.000   -8.000   -0,41%
  • USD/IDR 16.210   -85,00   -0,52%
  • IDX 6.897   65,26   0,96%
  • KOMPAS100 1.002   13,05   1,32%
  • LQ45 771   10,32   1,36%
  • ISSI 224   1,60   0,72%
  • IDX30 397   5,48   1,40%
  • IDXHIDIV20 461   5,31   1,16%
  • IDX80 113   1,46   1,31%
  • IDXV30 113   0,44   0,39%
  • IDXQ30 129   1,86   1,47%

Marketplace Bakal Ditetapkan sebagai Pemungut Pajak, Ini Dampaknya bagi UMKM


Kamis, 26 Juni 2025 / 05:45 WIB
Marketplace Bakal Ditetapkan sebagai Pemungut Pajak, Ini Dampaknya bagi UMKM
ILUSTRASI. Konsumen belanja melalui marketplace atau situs belanja online/daring di Jakarta. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mempertimbangkan penunjukan platform digital, khususnya marketplace, sebagai pemungut pajak atas transaksi yang dilakukan oleh para merchant atau pelapak.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap perkembangan ekonomi digital yang pesat.

Baca Juga: Pemerintah Rencana Pungut Pajak Penjualan bagi Pelapak E-Commerce, Ini Kata Ekonom

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kebijakan ini berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus efektivitas penerimaan negara.

"Menurut saya, risiko ketidakpatuhan di sektor e-commerce, terutama marketplace, cukup tinggi. Namun perlu ditekankan bahwa ini bukanlah pengenaan jenis pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan yang kini dilakukan oleh platform digital," jelas Fajry kepada Kontan.co.id, Rabu (25/6).

Adaptasi Pajak di Era Digital

Fajry menuturkan, mekanisme pemungutan pajak oleh pihak ketiga bukan hal baru dalam sistem perpajakan Indonesia.

Contohnya, pemerintah sebelumnya telah menunjuk platform digital asing seperti penyedia layanan video streaming untuk memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), meski tanpa kehadiran fisik di Indonesia.

Baca Juga: Menakar Dampak Wacana Marketplace Jadi Pemungut Pajak Terhadap Konsumen

Contoh lainnya adalah pemotongan PPh 21 oleh perusahaan terhadap karyawannya, yang terbukti meningkatkan tingkat kepatuhan dibandingkan wajib pajak yang melakukan penyetoran secara mandiri.

“Kepatuhan SPT PPh orang pribadi karyawan lebih tinggi karena PPh 21-nya sudah dipotong langsung oleh perusahaan. Ini membuktikan bahwa pemotongan oleh pihak ketiga bisa efektif,” kata dia.

Fajry menegaskan, tarif pajak tidak berubah. Tarif PPh Final untuk UMKM tetap 0,5% dari omzet.

Perbedaannya terletak pada metode pungutannya yang kini dilakukan langsung oleh platform digital.

"Bagi pedagang yang selama ini sudah patuh, tidak akan ada beban tambahan. Tantangan pemerintah justru adalah bagaimana mengomunikasikan hal ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,” tandasnya.

Baca Juga: Muncul Wacana Marketplace Jadi Pemungut Pajak, Asosiasi E-Commerce Buka Suara

Potensi Kebocoran Pajak di Marketplace

Sementara itu, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menekankan pentingnya pengaturan khusus terhadap transaksi perdagangan di marketplace.

Menurutnya, banyak pelaku usaha yang memilih berjualan di marketplace karena kemudahan akses dan potensi pasar yang besar, meski harus membayar biaya layanan dan promosi hingga 10%-20% kepada platform.

Namun, ia melihat bahwa potensi kebocoran pajak justru lebih besar di sektor ini dibandingkan dengan toko daring mandiri.

"Banyak potensi pajak yang lolos dari radar, terutama di marketplace. Berbeda dengan toko online mandiri yang biasanya sudah lebih besar dan relatif patuh,” ujar Raden.

Baca Juga: Pelapak E-Commerce dengan Omzet Rp 500 Juta-Rp 4,8 Miliar Akan Kena Pajak 0,5%

Aturan Baru Pajak E-Commerce Sedang Digodok

Dua sumber di industri e-commerce yang dikutip Reuters mengungkapkan bahwa pemerintah tengah merancang aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut pajak sebesar 0,5% dari omzet penjual yang memiliki pendapatan tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.

Aturan ini bertujuan untuk menyamakan kedudukan antara pedagang online dan toko fisik dalam hal kepatuhan perpajakan, serta menjadi strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah tantangan fiskal.

Perubahan tersebut diperkirakan akan berdampak langsung pada sejumlah platform besar seperti TikTok Shop dan Tokopedia milik ByteDance, Shopee milik Sea Limited, Lazada yang didukung Alibaba, serta Blibli dan Bukalapak.

Salah satu sumber menyebutkan bahwa aturan ini direncanakan akan diumumkan bulan depan, seiring dengan upaya pemerintah memperkuat basis penerimaan pajak di sektor ekonomi digital.

Selanjutnya: Trump Isyaratkan AS akan Melonggarkan Sanksi Minyak Iran

Menarik Dibaca: Infinix Smart 7 Harga Juni 2025 Lagi Murah, Fitur & Speknya Enggak Kaleng-Kaleng

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×