Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Mahkamah Agung (MA) tidak menemukan adanya pelanggaran dalam Peninjauan Kembali (PK) Sudjiono Timan yang diajukan oleh istrinya.
Hal ini disampaikan ketua MA, Hatta Ali usai menyampaikan pemaparan catatan akhir tahun MA di gedung MA, Jakarta, Senin (30/12).
Hatta mengaku sudah mendapat laporan dari Badan Pengawas MA. "Hasil pemeriksaan hakim pemutus perkara ini agak berbau teknis. Yang dipertanyakan adalah diterima atau tidak upaya PK yang diajukan oleh istri," ujarnya.
Hatta menerangkan, pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kecuali, putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dalam penjelasannya, tidak mengatur yang dimaksud terpidana atau ahli warisnya.
Dalam perkara perdata, seseorang dikatakan ahli waris jika pewaris sudah meninggal. "Tetapi ini soal pidana," lanjut Hatta.
Majelis hakim kemudian menggunakan buku Yahya Harahap yang berjudul "Pembahahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP".
Dalam bukunya, mantan Hakim Agung yang pernah menjabat sebagai wakil ketua MA ini menyatakan ahli waris tidak harus diperoleh dari terpidana yang sudah meninggal.
Meski ada Surat Edaran MA (SEMA) nomor 1 Tahun 2012 yang menyatakan terpidana atau pemohon PK wajib hadir, pengajuan PK Sudjiono Timan secara formal dapat diterima.
Alasannya, SEMA berlaku sejak terbit tanggal 28 Juni 2012, sedangkan PK Sudjiono Timan sudah masuk dari Januari 2012 dan mulai disidangkan bulan April.
Pada akhirnya, putusan PK Sudjiono Timan merupakan independensi hakim. Tim pengawas menilai, tidak ada kesalahan yang fundamental sehingga tidak perlu diberikan sanksi.
"Karena masih diperdebatkan, saya belum bisa melangkah ke materi PK. Dlam undang-undang sendiri terkait independensi, hakim tidak boleh diawasi," kata Hatta.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan MA kembali membuka kasus ini jika ditemukan adanya saksi yang melihat pelanggaran kode etik.
Sudjiono Timan merupakan terpidana korupsi yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta serta membayar uang pengganti Rp 369 miliar oleh Mahkamah Agung pada Desember 2004 silam.
Sudjiono Timan diputus bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar US$ 67 juta, Penta Investment Ltd sebesar US$ 19 juta, KAFL sebesar US$ 34 juta dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar .
Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan US$ 98,7 juta. Putusan ini sekaligus menganulir putusan PN Jakarta Selatan yang melepaskan Sudjiono.
Namun, pada Januari 2012 Sudjiono melalui istrinya mengajukan upaya PK ke PN Jakarta Selatan. Akhirnya, pada 16 Juli 2013 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan permohonan PK Sudjiono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News