Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan melakukan kerja sama dengan China di bidang pertanian.
Kerja sama ini adalah hasil kesepakatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam pertemuan Pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-Republik Rakyat China (RRC) lalu. China akan melakukan transfer teknologi, termasuk benih dan melakukan penanaman padi di Kalimatan Tengah.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) melihat penerapan teknologi padi dari China tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia.
"Misalnya menghadirkan benih dari China, itu tidak selalu menjadi solusi baik, cespleng dan langsung aplikabel, pasti perlu adaptasi," kata Khudori pada Kontan.co.id, Jum'at (26/3).
Ia menyebut, proses adaptasi ini membutuhkan input beberapa kali bahkan ada risiko kegagalan jika tidak dimitigasi dengan baik. Terlebih, China juga negara dengan 4 musim, berbeda dengan Indonesia yang hanya memiliki dua musim.
"Perbedaan ini bisa mempengaruhi, ahli di China bisa saja jagoan dalam penanaman padi disana, tapi belum tentu berhasil diterapkan di Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: Luhut Gandeng China Kembangkan Padi di Kalteng, Bulog Siap Jadi Off Taker
Khudori juga mengingatkan transfer teknologi tanam padi dari China sebenarnya pernah diterapkan Mantan Wapres Jusuf Kalla pada tahun 2007.
Pada saat itu, transfer yang dilakukan adalah pembagian benih hibrida dar China. Bahkan, pemerintahaan saat itu juga memfasilitasi kerja sama perbenihan antara perusahaan China dan Indonesia.
Hanya saja, upaya ini ternyata gagal. Beberapa benih hibrida yang dibagikan kepada petani tidak mendapatkan hasil yang menggembirakan.
"Ini menandakan tidak muadh mengintroduksi sistem usaha tani salah satunya benih," kata Khudori.
Selain itu, Khudori melihat masalah industri pertanian dalam negeri sebetulnya lebih berkaitan dengan peningkatan biaya usaha tani yang mahal, terutama pada sewa lahan dan tenaga kerja.
Dua pos itu mencapai 75%-80% dari total produksi biaya usaha tani tanam padi di dalam negeri. Hal ini yang membuat harga beras di Indonesia mahal dan tidak kompetitf jika dibandingkan dengan negara lain.
Sebelumnya, Menko Luhut menyampaikan rencana kerja sama antara China dan Indonesia ini akan mulai dilakukan pada Oktober 2024.
Adapun pengelolaan halan tersebut akan dilakukan secara bertahap. Misalnya, dari 100.000 hektare, naik menjadi 200.000 hektare dan akan terus dilakukan evaluasi.
"Kita (Indonesia) minta mereka (China) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada. Mereka bersedia,” ujar Luhut.
Luhut mengatakan langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah mencari mitra lokal untuk bekerja sama dalam mengembangkan pertanian di Indonesia.
Sementara lembaga yang ditunjuk untuk mengumpulkan hasil produksi tersebut adalah Perum Bulog.
Baca Juga: Ini Alasan RI Belum Bisa Ekspor Langsung ke China
Luhut menilai proyek ini penting lantaran padi merupakan masalah serius bagi Indonesia. Terlebih, saat ini kita masih bergantung pada impor dalam memenuhi kebutuhan beras nasional.
"Beras selalu kita impor, 2 juta lah, 1,5 juta lah. Jadi, kalau program ini jalan, dan menurut saya harus jalan, kita sebenarnya minta 4–5 ton saja,” ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News