Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Lembaga National Single Window (LNSW) Oza Olavia menegaskan bahwa upaya pemerintah dalam menekan praktik under invoicing akan difokuskan pada peningkatan kepatuhan pelaku usaha melalui sistem digital yang lebih kuat dan terintegrasi.
Menurut Oza, pemerintah saat ini tidak hanya mengejar perbaikan kinerja layanan, tetapi juga membangun ekosistem kepatuhan yang lebih tinggi dari para pengguna jasa.
"Fokus pemerintahan ini bagaimana kita mengupayakan penerimaan. Tapi yang lebih penting lagi, bagaimana pengguna jasa kita juga tingkat kepatuhannya tinggi," ujar Oza dalam Media Gathering di Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Oza menjelaskan bahwa LNSW terus menyempurnakan sistem agar pelaku usaha dapat menyampaikan dokumen impor dengan data yang lebih lengkap dan akurat.
Baca Juga: Emas Masuk SIMBARA Mulai 2026, LNSW Pastikan Harga Tak Terdampak
Dengan kebutuhan data yang besar, LNSW menilai kemampuan pengguna jasa mengisi dokumen dengan benar merupakan langkah awal mencegah praktik manipulasi nilai transaksi.
"Kita membuat kesisteman ini adalah bagaimana meningkatkan kepatuhan dari pengguna jasa kita," katanya.
Meski sistem ke depan akan memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI), Oza menegaskan bahwa penerapan AI tidak langsung diarahkan untuk menangani penindakan underinvoicing. Tugas utama itu tetap di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
"Nanti kita mungkin akan memanfaatkan bagaimana AI kita gunakan, tapi tidak fokus automatis langsung untuk handling under-invoicing, karena itu nanti adalah peranan di Bea Cukai," imbuh Oza.
Ia menambahkan bahwa data yang dikumpulkan LNSW akan dianalisis oleh unit-unit yang memang memiliki mandat penegakan, termasuk Bea Cukai.
Baca Juga: Underinvoicing Meningkat, Efektivitas Bea Cukai Kembali Disorot
Sebelumnya, Institute for Development of Economics & Finance (Indef) menyoroti masih maraknya praktik under-invoicing dalam kegiatan impor yang dinilai merugikan negara dan merusak kesehatan pasar domestik.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman, menjelaskan bahwa praktik ini memotong basis penerimaan negara di titik impor karena nilai barang dicantumkan jauh lebih rendah dari harga sesungguhnya.
"Praktik under-invoicing terus merugikan negara karena memotong basis penerimaan di titik impor," ujar Rizal.
Indef memperkirakan potensi kerugian negara akibat praktik tersebut bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, terutama berasal dari sektor-sektor seperti tekstil dan garmen, elektronik, besi dan baja, plastik, serta berbagai barang konsumsi asal China.
Rizal mengatakan komoditas tersebut kerap menunjukkan selisih harga yang tidak wajar antara nilai invoice, harga pasar global, dan data dari negara asal. Kondisi ini menjadi indikasi kuat adanya manipulasi nilai impor.
Baca Juga: Sinergi&Kolaborasi Penyederhanaan Ekspor Impor lewat Indonesia National Single Window
Selanjutnya: IHSG Berpeluang Tembus ke 10.000 di Tahun 2026, Cek Sektor dan Saham Favorit Analis
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Super Beauty Week 1-7 Desember 2025, Parfum-Face Wash Diskon 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













