Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai bahwa kinerja perusahaan tidak bisa hanya dilihat dari besaran utangnya saja. Melainkan perlu juga dilihat ekuitas yang dimiliki, total aset, serta piutang yang dipunyai BUMN. Menurut dia, hal terpenting adalah bisnis dari BUMN masih tetap berjalan.
Dia pun membandingkan dengan utang yang dimiliki oleh Evergrande. Perusahaan properti raksasa asal China itu terlilit utang jumbo hingga US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.277 triliun.
"Kalau utang BUMN saat ini saya nggak khawatir, operasinya kan masih berjalan. Kalau sudah kayak Evergrande baru itu persoalan, usahanya udah nggak jalan, utang ribuan triliun, dan itu hanya satu perusahaan lho. Ini kan total seluruh BUMN," ujar Piter.
Utang BUMN seperti PT PLN (Persero) dan BUMN Karya sebagian juga berasal dari penugasan yang diberikan pemerintah. Kendati begitu, mereka memiliki aset yang besar. Kehadiran Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (LPI/INA) bisa menjadi angin segar untuk pendanaan dan membiayai proyek strategis ke depan, khususnya bagi BUMN karya.
"Masalahnya kan di likuiditas. Jadi istilahnya duitnya belum berputar. Kalau duitnya sudah berputar, persoalan utang ini menurut saya masih dalam koridor yang aman," ujar Piter.
Evaluasi dan Mitigasi Risiko Sistemik
Dengan utang yang terus bertumbuh, Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov justru melihat adanya urgensi bagi pemerintah khususnya Kementerian BUMN untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Perlu diidentifikasi pemanfaatan dari utang tersebut, apakah telah efektif diserap untuk keperluan produktif seperti ekspansi bisnis, atau sebaliknya.
"Pak Erick (Menteri BUMN) juga kan sudah menyampaikan kemarin, dari utang-utang yang dulu ada potensi korupsi terselubung, bahkan utang digunakan untuk fasilitas bonus. Sehingga pemanfaatannya tidak tepat sasaran, bukan untuk produktif, tadi konsumtif," kata Abra kepada Kontan.co.id, Kamis (23/9).
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) menyiapkan dana pelunasan obligasi Rp 2,1 triliun
Bagai menunda bisul pecah, Abra juga mengingatkan bahwa restrukturisasi utang seperti refinancing tidak bisa menyelesaikan persoalan. Menurutnya, restrukturisasi utang mesti dibarengi dengan pembenahan tata kelola perusahaan dan bisnis secara fundamental.
Abra melihat urgensi untuk membenahi berbagai inefisiensi pada setiap proyek BUMN. Sembari secara bisnis meningkatkan produktivitas atau mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan perusahaan.
Jangan sampai, ujung-ujungnya tumpukan utang BUMN malah membebani negara. Misalnya dengan terus meminta kucuran Penyertaan Modal Negara (PMN). Padahal, struktur utang di APBN pun terus meroket.
"Jadi dari utang BUMN ini pemerintah sebetulnya perlu memperhitungkan risiko sistemik, terhadap fiskal, perbankan, bagaimana efek dominonya," ungkap Abra.
Sementara itu, Pengamat BUMN dari LM FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto menerangkan, lonjakan utang BUMN memang tak lepas dari adanya penugasan pemerintah terutama pembangunan infrastruktur. Pendanaan proyek tersebut sebagian besar menggunakan instrumen utang.
Namun, sebagian lainnya terjadi karena kinerja perusahaan yang buruk atau perhitungan proyek yang tidak tepat. "Misalnya mereka menambah investasi baru dengan capex besar namun return-nya tidak sesuai. Akibatnya proyek tidak mampu mengembalikan pinjaman kredit yang sudah diterima," kata Toto.
Pandemi Covid-19 yang membuat pendapatan anjlok juga memperburuk kondisi ini. Akibatnya, upaya restrukturisasi tak terhindarkan. Langkah tersebut bisa dilakukan melalui divestasi aset terutama untuk BUMN karya, serta penjadwalan ulang pinjaman komersial dan obligasi jatuh tempo.
"Disamping itu upaya perbaikan struktur financing dengan mengurangi instrumen debt dan mulai memperbesar unsur ekuitas, misal lewat LPI bisa jadi alternatif ke depan," pungkas Toto.
Selanjutnya: Makin diterima masyarakat, transaksi digital banking makin bertumbuh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News