Reporter: Dityasa H. Forddanta | Editor: Yudho Winarto
Dirjen Pajak akan terus menerbitkan SP2DK, dan melakukan inisiatif pemeriksaan yang lebih terarah melalui profiling entitas berisiko tinggi dan merugi serta wajib pajak yang belum memiliki NPWP.
Reformasi perpajakan akan terus terjadi baik di tingkat kebijakan maupun administrasi dalam konteks kerangka UU HPP.
Namun, ketidakpastian menerpa implementasi Omnibus Law pasca putusan MA. Pemerintah meyakini bahwa akan mampu menjawab putusan MA ini dalam jangka waktu 2 tahun ke depan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menambahkan alasan mengapa aturan dan kebijakan sering kali berubah.
Baca Juga: RSM Indonesia sambut positif insentif pajak yang ditawarkan pemerintah
Salah satu penyebab utamanya adalah ekonomi global yang mengalami gejolak dari segi kecepatan perubahan pasar, ketidakmampuan untuk memprediksi masa mendatang, kompleksitas faktor dan variable yang perlu diperhitungkan, dan ambiguitas pernafsiran.
Pemerintah merespon situasi dengan menerapkan kebijakan fiskal melalui penerbitan Perpu No.1/2020. Pemerintah memberikan stimulus penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), serta memperluas stimulus dan rekonstruksi program agar lebih implementatif sehingga dapat segera dieksekusi.
Di tahun 2021 hingga 2022 mendatang, kebijakan akan lebih diarahkan menuju penguatan daya banngkit dan reformasi penguatan fondasi penanganan pandemi dan program vaksinasi. Maka revisi UU Perpajakan menjadi prasyarat dan kondisi niscaya bagi keberlanjutan reformasi perpajakan menuju ekosistem yang adil, efektif, dan akuntabel.
“Ada beberapa pertimbangan risiko yang harus kita antisipasi. Yang pertama tentu adalah potensi re-eskalasi Covid-19 yang muncul karena varian baru, normalisasi harga komoditas global, kenaikan Federal Fund Rate (FFR), dan dinamika ekonomi global,” tambah Yustinus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News