Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebutkan, pelayanan publik di Indonesia sangat kompleks, karena prosedur yang berbelit-belit, waktu yang lama, dan biaya yang besar.
Analis Kebijakan KPPOD Sarah Hasibuan mengungkapkan hal tersebut dalam webinar Pengawasan Pelayanan Publik Pasca Pandemi Covid-19, Jumat (26/11). Ia mengatakan, implementasi pelayanan publik di Indonesia menemui sejumlah kendala pada aspek regulasi, birokrasi, dan digitalisasi.
Menurut Sarah, pelayanan publik berbasis elektronik menjadi jawaban atas sengkarut yang terjadi di lapangan. “Perencanaan dan penganggaran yang dibuat oleh pusat harus adaptif, realistis, dan esensial sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Sarah.
Ia juga menyebutkan perlu adanya transparansi dan akuntabilitas serta upaya untuk mendorong collaborative governance dengan memberikan ruang yang terbuka bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan pelayanan publik.
Baca Juga: KPPOD minta pemerintah perjelas skema opsen pajak dalam RUU HKPD
Sementara, Anggota DPRD DKI Jakarta Wiliam Aditya menyampaikan, pada dasarnya negara dalam hal ini birokrasi seharusnya bisa melayani negara. “Kalau diibaratkan sebuah mobil, birokrasi adalah mesinnya, pengemudinya adalah para politisi yang dipilih menjadi pejabat publik, bensinnya adalah pajak rakyat,” Kata Wiliam.
Cara mengukur keberhasilan birokrasi, menurut Anggota DPRD DKI Fraksi PSI ini adalah melihat seberapa banyak kebijakan yang terimplementasi dengan baik berdasarkan ekstraksi dari pajak rakyat yang diserap.
“Jadi dalam masa pandemi ini, ketegangan antara masyarakat dan pemerintah semakin meninggi, sehingga dalam pandemi, yang harus dibutuhkan dalam birokrasi adalah kecepatan untuk beradaptasi dan stamina,” imbuh Wiliam.
Anggota Komisioner Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menambahkan, maladministrasi merupakan pintu awal terjadinya praktik korupsi. Menurutnya, maladministrasi bukan sekedar melanggar aturan, tetapi juga menyangkut etika moral.
“Moralitas penyelenggara publik itulah yang menjadi ukuran tertinggi sesungguhnya, apakah sektor publik kita itu beradab atau tidak,” kata Robert.
Baca Juga: Implementasi UU Cipta Kerja di daerah dinilai masih belum solid
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News