Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Hasil kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 10 persoalan terkait pengelolaan tambang di Indonesia.
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan persoalan tersebut, KPK melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan tambang mineral dan batubara di 12 provinsi.
"Ini dimaksudkan untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) mineral dan batubara," kata Juru Bicara KPK Johan Budi melalui siaran pers yang diterima wartawan, Rabu (26/3/2014).
Menurut Johan, kesepuluh persoalan itu belum selesai hingga saat ini. Persoalan tersebut meliputi hal-hal berkaitan dengan renegosiasi kontrak, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral batubara, penataan kuasa pertambangan/izin usaha pertambangan, serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation). Lima persoalan lain berkaitan dengan kewajiban pelaporan secara reguler, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang, penerbitan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, serta pengoptimalan penerimaan negara.
Piutang Rp 1.308 miliar
Johan mengatakan, menurut hasil rekapitulasi data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per 3 Februari 2014, terdapat 4.877 izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia yang berstatus tidak clean & clear (CNC). Sebanyak 3.136 IUP berstatus CNC tersebut ada di 12 provinsi yang tengah diawasi KPK. Provinsi-provinsi itu adalah Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara.
Selain itu, menurut Johan, data Ditjen Minerba memperlihatkan adanya piutang negara sebesar Rp 1.308 miliar dalam kurun 2005-2013. Adapun jumlah piutang pada 12 provinsi yang dilakukan koordinasi dan supervisi sebesar Rp 905 miliar atau 69 persen dari total piutang negara. "Terdiri dari iuran tetap sebesar Rp 23 miliar dan royalti sebesar Rp 882 miliar. Piutang ini berasal dari 1.659 perusahaan dari total 7.501 IUP yang ada di 12 provinsi itu," ujar Johan.
Menurut Johan, hingga kini masih banyak perusahaan pemegang IUP yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data Ditjen Pajak Maret 2014, kata Johan, menunjukkan adanya 3.202 perusahaan yang belum memiliki NPWP dari total 7.754 perusahaan pemegang IUP.
Saat ini, KPK tengah melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi KPK tengah berlangsung di Kalimantan Selatan. Kegiatan itu dilakukan di tingkat provinsi, 11 kabupaten, dan dua kota di Kalimantan Selatan. Di Kalsel, KPK menemukan 441 IUP atau 52 persen dari total IUP yang masih berstatus non-CNC.
"Yang paling banyak, terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Laut, sebanyak 194 IUP dan 147 IUP," kata Johan.
Persoalan IUP tumpang tindih dengan kawasan hutan juga terjadi di provinsi ini. Tumpang tindih antara lain terjadi pada 20.000 hektar kawasan hutan lindung, hampir 4.000 hektar hutan konservasi dan 379.000 hektar kawasan hutan produksi, hutan produksi konversi, dan hutan produksi terbatas.
"Dari hasil kajian KPK, tidak ada satu pun daerah di provinsi ini yang mencantumkan data jaminan pascatambang. Sedangkan, data jaminan reklamasi hanya dicantumkan oleh 20 IUP dari 845 IUP yang ada, senilai Rp 5,5 miliar," kata Johan. (Icha Rastika)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News