Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Budget Center (IBC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengawasi anggaran negara menilai berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mendorong pemerintah melakukan perbaikan.
Ketua Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam menjelaskan kerugian negara yang muncul dari celah kebijakan cukai rokok disebabkan adanya produsen yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah dibandingkan yang seharusnya.
“Ini karena penggolongan tarif cukai saat ini sangat banyak dan rumit. Padahal, setiap kebijakan yang rumit akan memunculkan celah penyimpangan,” katanya, Rabu (31/7).
Saat ini, pemerintah mengatur tarif cukai rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 yang kemudian direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan golongan tarif cukai rokok yang berbeda berdasarkan batasan produksi sesuai kategorinya, antara lain Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Masalahnya, terdapat perusahaan rokok SPM dan SKM besar dan asing yang memanfaatkan celah tersebut untuk menghindari pembayaran pajak dan cukai yang lebih mahal. Salah satu caranya adalah dengan membatasi produksi mereka agar tidak melampaui tiga miliar batang di setiap segmen yang menjadi ambang batas (threshold) penetapan tarif tertinggi.
Padahal, jika digabungkan SPM dan SKM, produksi rokok perusahaan besar asing tersebut melampaui tiga miliar batang rokok. “Inilah salah satu celah kerugian negara akibat kebijakan tersebut. Ini harus diperbaiki,” tegas Arif.
Salah satu perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM sehingga perusahaan besar asing tidak main-main dengan tarifnya.
Dia menjelaskan, pemerintah sudah memiliki contoh yang benar saat mencabut insentif cukai rokok di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara terhitung sejak 17 Mei 2019. Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut rekomendasi KPK kepada Presiden pada Februari 2019.
KPK telah melakukan kajian Optimalisasi Penerimaan Negara di FTZ sepanjang 2018. Diantara hasil kajian adalah temuan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai untuk 2,5 miliar batang rokok yang berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 945 miliar di FTZ Batam.
Heri Susanto, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) menyebutkan saat ini tarif cukai di segmen SPM memiliki ketimpangan sosial sehingga menekan pabrikan kecil.
Contohnya, pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
Lucky Strike dan Dunhill produksi Bentoel Grup atau British American Tobacco serta Esse Blue buatan Korean Tobacco Grup Indonesia juga memakai tarif Rp 370 per batang. "Itu juga perusahaan asing dan golongan besar. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," katanya.
Tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp 590 per batang. Namun, produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 385 per batang.
Demikian pula dengan segmen SKT yang banyak memakai tenaga kerja manusia. Contohnya, tarif cukai Dji Sam Soe Kretek dari PT HM Sampoerna Rp 365 per batang (golongan 1A). Adapun Gudang Garam Merah dari PT Gudang Garam dan Djarum Coklat serta 76 dari PT Djarum, memakai tarif Rp 290 per batang (golongan 1B).
Akan tetapi, rokok SKT merk Apache Kretek yang diproduksi PT Karyadibya Mahardhika (anak perusahaan Japan Tobacco) menggunakan tarif Rp 180 per batang (golongan 2). “Pabrik multinasional yang punya SPM dan SKM harus digabung. Supaya produksi SPM dan SKM nanti jadi 3 miliar batang sehingga masuknya ke golongan 1,” ungkap Heri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News