kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45910,93   9,53   1.06%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Konsensus pajak digital gagal mencapai mufakat


Kamis, 15 Oktober 2020 / 12:06 WIB
Konsensus pajak digital gagal mencapai mufakat
ILUSTRASI. Konsumen menunjukkan aplikasi belanja online Shopee melalui gawai di Jakarta, Rabu (16/9/2020).


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memberikan kabar tak sedap. Pasalnnya, konsensus pajak digital yang digadang sejak tahun 2019 lalu gagal mencapai mufakat.

OECD dalam publikasinya terkait Inclusive Framework OECD/G20 tentang Base Erosion Profit Shifting menyampaikan 137 negara telah melakukan pertemuan pada 8-9 Oktober 2020 dan menyepakati konsensus pajak digital diundur hingga pertengahan tahun depan.

Adapun dua konsensus yang diundur pembahasannya yakni atas proposal Pilar 1; Unified Approach dan Pilar 2; Global Anti Base Erosion (GloBE). Kendati demikian, OECD belum menginformasikan tanggal resmi pembahasan selanjutnya.

OECD beralasan konsensus pajak digital tertunda lantaran negara di berbagai belahan dunia sedang fokus menangani dampak pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) baik kesehatan maupun ekonomi. Sehingga, konsensus pajak digital resmi diundur.

Baca Juga: Pemerintah putar otak agar penerimaan pajak tahun depan naik 8%

"Meski terhambat oleh pandemi dan perbedaan politik, negara Inclusive Framework berpandangan proposal pada 2 pilar merefleksikan konvergensi sikap, prinsip, dan parameter negara anggota untuk negosiasi selanjutnya," tulis OECD dalam keterangan resminya, yang dikutip Kontan.co.id, Kamis (15/10).

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria berharap konsensus kedua pilar tersebut dapat segera disepakati tahun depan. Sebab dengan konsensus pajak digital, semua negara dinilai akan mendapatkan keadilan sistem pajak, sebagaimana model perpajakan internasional yang diadaptasikan dengan model bisnis yang terus berubah.

Setali tiga uang, konsensus pajak digital dipercaya dapat menghindari pengenaan pajak digital secara unilateral atau digital service tax (DST). Sebab, kata Gurria penerapan DST secara sepihak akan mendorong perang dagang dan memangkas PDB global hingga 1% per tahun.

Baca Juga: Pengamat: Potensi pajak digital di Indonesia masih bisa digali

"Tanpa konsensus, risiko aksi unilateral tanpa koordinasi antarnegara makin tinggi. Semua stakeholder perlu berkomitmen menyelesaikan proposal ini. Tidak tercapainya konsensus akan menyebabkan perang dagang di tengah ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19," kata Gurria.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sudah mengendus kalau konsensus global pajak digital tidak akan mencapai kesepakatan di tahun ini.

Kata Menkeu, pertemuan negara-negara G20 bulan lalu, Amerika Serikat (AS) vocal untuk memilih tidak memberlakukan pajak penghasilan (PPh) dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Baca Juga: Penerimaan pajak rawan shortfall, begini strategi pemerintah

Dalam rapatnya dengan Komisi XI DPR RI kala itu, Sri Mulyani memberikan sinyal untuk memilih tunggu konsensus global pajak digital.

Menurutnya, setidaknya Indonesia sudah mewajibkan kepada beberapa perusahaan besar digital asing untuk tarik pajak konsumen atawa pajak pertambahan nilai (PPN).

“Amerika Serikat meminta untuk tidak maju dulu dalam hal ini dalam pertemuan G20 terakhir. Mereka menganggap tidak mau menyetujui arah yang sekarang dibahas,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Selanjutnya: Upaya otoritas pajak mengejar target penerimaan pajak 8% di 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×