Penulis: Virdita Ratriani
1. BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia)
Pada awal Mei 1946, dilakukan pelatihan khusus di daerah Ambarawa, Jawa Tengah. Sekitar 30 pemuda lulusannya menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI).
Lembaga ini menjadi "payung" gerakan intelijen dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri. Kemudian pada Juli 1946, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk "Badan Pertahanan B" yang dikepalai seorang mantan komisioner polisi.
Lalu, April 1947, dilakukan penyatuan seluruh badan intelijen di bawah menteri pertahanan (menhan). BRANI menjadi Bagian V dari Badan Pertahanan B.
Pada awal 1952, Kepala Staf Angkatan Perang T.B. Simatupang juga menurunkan lembaga Intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP).
Di tahun yang sama, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima tawaran Central Intelligence Agency Amerika Serikat (CIA) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
Baca Juga: Presiden Jokowi coret BIN dari bawah koordinasi Kemenko Polhukam
2. BKI (Badan Koordinasi Intelijen)
Sepanjang 1952-1958, seluruh Angkatan TNI dan Kepolisian memiliki badan intelijen sendiri-sendiri tanpa koordinasi nasional yang solid. Maka pada 5 Desember 1958, Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) yang dipimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi sebagai kepala BKI.
3. BPI (Badan Pusat Intelijen)
Selanjutnya, 10 November 1959, BKI menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang bermarkas di Jalan Madiun, yang dikepalai oleh DR Soebandrio.
Di era 1960-an hingga akhir masa Orde Lama, pengaruh Soebandrio pada BPI sangat kuat diikuti perang ideologi komunis dan non-komunis di tubuh militer, termasuk intelijen.
Setelah gonjang-ganjing 1965, Soeharto mengepalai Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Selanjutnya, di seluruh daerah (Komando Daerah Militer/Kodam) dibentuk Satuan Tugas Intelijen (STI).
Baca Juga: Tjahjo Kumolo: Perlu adanya penguatan BIN dan BNPB