kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.938.000   14.000   0,73%
  • USD/IDR 16.310   -16,00   -0,10%
  • IDX 7.120   51,08   0,72%
  • KOMPAS100 1.038   7,94   0,77%
  • LQ45 802   5,14   0,65%
  • ISSI 230   2,46   1,08%
  • IDX30 417   1,26   0,30%
  • IDXHIDIV20 489   1,03   0,21%
  • IDX80 117   0,69   0,59%
  • IDXV30 119   -0,22   -0,19%
  • IDXQ30 135   -0,09   -0,07%

Ketahanan Fiskal APBN 2025 Diuji: Defisit Berpotensi Melebar dan Utang Jadi Beban


Selasa, 03 Juni 2025 / 18:20 WIB
Ketahanan Fiskal APBN 2025 Diuji: Defisit Berpotensi Melebar dan Utang Jadi Beban
ILUSTRASI. Sejumlah truk kontainer melintas di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (25/4/2025). Ketahanan fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tengah menghadapi tekanan serius.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ketahanan fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tengah menghadapi tekanan serius. 

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan terbarunya, memperkirakan Pemerintah Indonesia akan menghadapi lonjakan defisit anggaran pada 2025 menjadi 2,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat dari posisi 2,3% pada tahun 2024. 

Peningkatan defisit ini didorong oleh perluasan sejumlah program prioritas serta penurunan pendapatan negara akibat insentif fiskal yang diberikan di awal tahun.

Belum lagi terbaru pemerintah pada Juni-JuLi akan mengucurkan total anggaran Rp 24,44 Triliun untuk membiayai 5 paket insentif stimulus ekonomi bagi masyarakat, dimana Rp 23,59 triliun berasal dari APBN. 

Baca Juga: APBN 2025: Lonjakan Pembiayaan Utang Jadi Tantangan di Tengah Ketidakpastian Global

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa ruang fiskal pemerintah semakin terbatas akibat kombinasi penurunan penerimaan negara dan tingginya kebutuhan belanja prioritas.

“APBN akan mengalami tekanan besar, mengingat dari sisi penerimaan negara masih akan tertekan dibanding tahun lalu, sejalan dengan turunnya penerimaan ekspor komoditas tambang dan perkebunan,” ujar Bhima kepada Kontan, Selasa (3/6).

Di sisi belanja, Bhima menyoroti pembengkakan kebutuhan anggaran untuk program-program strategis seperti Komperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan pengembangan Food Estate.

Selain itu, beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang pemerintah yang jatuh tempo pada semester II 2025 juga tergolong tinggi. “Juni ini pemerintah harus bayar utang jatuh tempo sebesar Rp 178,9 triliun. Jadi, yang prioritas pastinya untuk bayar utang dulu,” jelas Bhima.

Ia juga menyoroti bahwa tren kenaikan rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sudah tak terhindarkan. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah kualitas utang tersebut yang dinilai semakin tidak produktif.

Baca Juga: Wamenkeu Pastikan Tensi Dagang Tak Pengaruhi Fiskal APBN

Dalam laporan OECD, rasio utang pemerintah RI saat ini tercatat sekitar 40% dari PDB. Berdasarkan perhitungan Kontan, posisi utang pemerintah telah mencapai Rp 9.105,09 triliun.

Angka tersebut merupakan gabungan dari posisi utang per akhir Desember 2024 sebesar Rp 8.801,09 triliun, ditambah realisasi penarikan utang baru selama Januari–April 2025 sebesar Rp 304 triliun

“Utang ini makin tidak produktif karena beban pembayaran utang jatuh tempo dan bunga yang terlalu besar. Utang makin tidak jadi leverage tapi jadi beban ekonomi,” kritik Bhima.

Selain itu, salah satu indikator nyata yang menunjukkan menyempitnya ruang fiskal adalah pembatalan program diskon tarif listrik. Menurut Bhima, semula kebijakan ini dirancang sebagai bagian dari stimulus ekonomi, bukan sebagai substitusi dari bantuan lainnya.

“Sejak stimulus pemerintah diumumkan ke publik, koordinasi lintas kementerian sangat minim, termasuk soal ketersediaan pos anggaran. Estimasi total anggaran dengan diskon tarif listrik bisa mencapai Rp 33 triliun sampai Rp 50 triliun hanya untuk Juni–Juli 2025,” ungkapnya.

Namun, karena tidak tersedia alokasi anggaran yang memadai, pemerintah akhirnya membatalkan kebijakan tersebut. Bhima menilai pembatalan ini adalah alarm keras atas melemahnya daya dorong APBN terhadap perekonomian nasional.

Menurut Bhima, dibatalkannya diskon tarif listrik ini adalah alarm bagi melebarnya defisit APBN sehingga ruang fiskal tidak lagi tersedia untuk beri stimulus ke masyarakat

Baca Juga: APBN Sudah Defisit, Surplus Keseimbangan Primer Terancam Tak Bertahan Lama

Ia pun memperingatkan bahwa dampak dari pembatalan tersebut akan dirasakan langsung oleh rumah tangga. Konsumsi masyarakat, terutama pada kuartal III 2025, diperkirakan akan mengalami perlambatan yang signifikan.

“Konsumsi rumah tangga pada kuartal ke-III 2025 diperkirakan makin menurun. Pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5% year-on-year, apalagi tidak ada motor berarti yang dorong konsumsi kecuali libur sekolah dan belanja keperluan tahun ajaran baru,” jelasnya.




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×