Reporter: Herlina KD | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko gagalnya kesepakatan tarif perdagangan antara Indonesia–AS berpotensi membawa dampak signifikan pada neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, tarif perdagangan Indonesia berpotensi kembali naik dari 19% menjadi 32%.
Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menegaskan, bahwa risiko terbesar muncul jika pembatalan tersebut hanya menimpa Indonesia, sementara negara pesaing di kawasan ASEAN tetap mendapatkan fasilitas tarif preferensial atau penurunan tarif dari AS.
Myrdal menekankan bahwa posisi Indonesia perlu dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia yang menjadi kompetitor utama di sektor ekspor manufaktur. Menurutnya jika nasibnya sama seperti Indonesia, hal itu justru menguntungkan.
Baca Juga: Jadi Penggerak Ekonomi Indonesia, Kualitas UMKM Perlu Ditingkatkan
Namun, jika pembatalan hanya terjadi pada Indonesia, dampaknya berpotensi serius. Dalam hitungannya, neraca dagang Indonesia berpotensi defisit sebesar US$ 1 miliar.
“Kalau yang kena itu cuma Indonesia saja yang batal, nah itu bisa jadi ada potensi sekitar US$ 1 miliar defisit neraca perdagangan kita itu berkurang. Kalau tarif dijadikan 32%, ada kemungkinan barang-barang kita jadi tidak kompetitif,” terang Myrdal kepada Kontan, Rabu (10/12/2025).
Ia menilai estimasi tersebut merupakan skenario terburuk yang perlu diantisipasi pemerintah.
Asal tahu saja, isu batalnya kesepakatan mencuat setelah laporan yang menyebutkan bahwa Perjanjian Dagang AS–Indonesia yang dicapai pada Juli 2025 berisiko gagal. Indonesia disebut dianggap mengingkari beberapa komitmen yang telah disepakati sebagai bagian dari kerja sama dagang tersebut.
"Mereka mengingkari apa yang telah kita sepakati pada bulan Juli," ujar seorang pejabat AS pada Selasa (9/12/2025), seperti dilansir Reuters.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Bisa Tertahan
Selain menggerus neraca perdagangan, kenaikan tarif terhadap produk Indonesia di pasar Amerika Serikat dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor padat karya.
“Kalau hanya terjadi di Indonesia saja, dampaknya untuk pertumbuhan ekonomi tidak besar. Tapi misalkan di sektor tekstil atau sepatu, itu bisa ada penurunan GDP/PDB (Gross Domestik Product/Produk Domestik Bruto) sekitar 0,3% kalau produk kita tidak kompetitif lagi,” jelasnya.
Namun, kondisi akan berbeda jika perubahan tarif terjadi serentak bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Menurut Myrdal, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia akan jauh lebih terbatas.
Baca Juga: Ini Risiko Jika Kesepakatan Tarif Indonesia–AS Batal
“Kalau ini terjadi secara global, paling pertumbuhan ekonomi kita turunnya tidak signifikan. Bisa jadi barang-barang kita malah lebih kompetitif dibandingkan Malaysia, Thailand, atau Vietnam,” ujarnya.
Ia mencontohkan, beberapa negara seperti Vietnam selama ini menikmati pemotongan tarif signifikan, dari sekitar 40% menjadi 19%. Jika fasilitas tersebut dicabut, posisi Indonesia relatif lebih diuntungkan.
“Yang untung sebenarnya Indonesia, karena kita kan cuma 32%,” tambahnya.
Myrdal menekankan pentingnya kewaspadaan pemerintah dalam merespons dinamika negosiasi dagang dengan AS. Ketidakpastian terkait tarif resiprokal berpotensi mengganggu daya saing ekspor Indonesia di sektor kunci seperti tekstil dan alas kaki, yang sensitif terhadap perubahan biaya.
Dengan potensi risiko jangka pendek hingga defisit US$ 1 miliar pada neraca perdagangan dan kemungkinan tekanan ke pertumbuhan ekonomi, pemerintah dinilai perlu mengambil langkah diplomasi dagang yang lebih agresif serta memperkuat daya saing industri domestik untuk menghadapi perubahan lanskap perdagangan global.
Selanjutnya: Ketentuan Ganjil Genap Jakarta: 11 Desember 2025 Berlaku atau Tidak?
Menarik Dibaca: 25 Ucapan Hari Gunung Sedunia 2025 untuk Ajak Lestarikan Gunung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













