Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan masih mencetak surplus pada Juni 2025. Hanya saja, surplus tersebut kemungkinan semakin menyusut.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, proyeksi surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2025 sebesar US$ 3,39 miliar, lebih rendah dibandingkan surplus Mei 2025 sebesar US$ 4,30 miliar.
“Surplus ini didorong oleh kenaikan harga komoditas utama seperti batu bara dan crude palm oil (CPO), serta kondisi perdagangan global yang lebih kondusif akibat kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dan China,” tutur Josua kepada Kontan, Kamis (31/7/2025).
Adapun surplus neraca perdagangan menyusut pada Juni 2025, diperkirakan dipengaruhi kinerja impor yang tumbuh lebih tinggi dari Mei 2025. Meski pertumbuan ekspor juga mengalami peningkatan.
Josua memerinci, kinerja ekspor pada Juni 2025 secara tahunan diproyeksikan tumhuh 10,79% year on year (yoy), lebih tinggi dari Mei 2025 yang tumbuh 9,68% yoy.
Baca Juga: Deal Tarif 19% dan Penghapusan Bea Masuk Produk AS Berisiko bagi Neraca Dagang RI
Kinerja impor Juni 2025 lanjut Josua, didukung oleh kenaikan harga komoditas serta meningkatnya permintaan global yang tercermin dari perbaikan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur di berbagai negara tujuan ekspor.
Selain itu, pertumbuhan impor juga diperkirakan naik menjadi 6,78% yoy, lebih tinggi dari impor Mei 2025 4,14% yoy, karena lonjakan harga minyak global akibat meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
“Secara keseluruhan, surplus neraca perdagangan tetap positif meskipun tantangan eksternal masih berpotensi menekan pertumbuhan ekspor-impor dalam jangka menengah,” imbuh Josua.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menyusut menjadi US$ 4,20 miliar pada Juni 2025.
Kinerja ekspor diperkirakan masih tumbuh kuat sebesar 10% yoy lebih tinggi dari bulan sebelumnya, ditopang oleh peningkatan pengiriman produk kelapa sawit, logam dasar, dan komponen elektronik ke AS dan Tiongkok.
Sebaliknya, impor hanya tumbuh 5% yoy, meski meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 4,14% yoy
“(Impor yang melambat) mencerminkan pelemahan permintaan domestik serta berlanjutnya kontraksi PMI manufaktur yang masih berada di bawah level 50,” tandasnya.
Baca Juga: Kesepakatan Dagang RI-AS Berpotensi Bebani Neraca Dagang dan Pertumbuhan Ekonomi
Selanjutnya: Saratoga (SRTG) Catat Rugi Investasi Hingga Rp 1,82 Triliun per Semester I 2025
Menarik Dibaca: Beli Mobil Baru, Simak 5 Tips Menjaga Keuangan Tetap Stabil ala Astra Life
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News