Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ekonom dan Guru Besar Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty menilai pemerintah perlu mencermati risiko jika kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat benar-benar batal seperti yang diisukan.
Jika tarif kembali ke level 32% dari yang sebelumnya disepakati 19%, Indonesia akan masuk dalam daftar mitra dagang dengan defisit neraca perdagangan tertinggi terhadap AS yaitu sebesar US$ 17,883 juta pada 2024 menurut data Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Telisa menambahkan, kenaikan tarif ini akan memukul sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia, terutama produk padat karya, karena biayanya menjadi lebih mahal di pasar AS.
Komoditas itu meliputi produk tekstil dan pakaian jadi, karet dan turunannya, elektronik rendah dan alat komunikasi, kelapa sawit beserta produk olahannya, serta komoditas perikanan seperti udang.
Baca Juga: Bila Kesepakatan Tarif RI–AS Batal, Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi Hingga Rupiah
“Penetapan tarif yang tinggi pada komoditas padat karya ini berpotensi menekan kinerja industri domestik, menurunkan utilisasi logistik di pelabuhan, dan meningkatkan risiko PHK,” ujar Telisa kepada Kontan, Rabu (10/12/2025).
Pada periode Januari–Oktober 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke AS mencapai US$ 25,56 miliar. Barang utama yang dikirim antara lain mesin dan perlengkapan elektrik (US$ 4,92 miliar), pakaian dan aksesorinya (US$ 2,31 miliar), serta alas kaki (US$ 2,30 miliar).
Sementara itu, impor nonmigas Indonesia dari AS pada periode yang sama mencapai US$ 8,17 miliar. Produk terbesar yang masuk adalah mesin dan peralatan mekanis (US$ 1,56 miliar), biji dan buah mengandung minyak (US$ 0,85 miliar), serta mesin dan perlengkapan elektrik (US$ 0,84 miliar).
Pada Oktober 2025, Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 2,39 juta. Amerika Serikat merupakan penyumbang surplus terbesar dengan nilai neraca perdagangan mencapai US$ 17,40 juta.
Telisa menilai, apabila tarif resiprokal 32% tetap diberlakukan, tekanan terhadap komoditas ekspor utama Indonesia berpotensi mengurangi surplus dagang bilateral dengan AS, yang selama ini menjadi salah satu penopang utama neraca perdagangan nasional.
Meski demikian, ia menilai dampaknya terhadap neraca dagang Indonesia secara keseluruhan masih dapat dikelola. Struktur ekspor Indonesia yang cukup terdiversifikasi serta ruang kebijakan pemerintah untuk membuka pasar alternatif serta memperkuat daya saing industri menjadi faktor penahan risiko.
“Upaya diplomasi dagang dan dukungan pemerintah kepada industri padat karya menjadi penting agar Indonesia tetap tangguh menghadapi tantangan perdagangan global,” ujarnya.
Baca Juga: Prabowo Bertemu Putin di Kremlin, Perkuat Hubungan Strategis Indonesia–Rusia
Telisa menyebut, penerapan penuh tarif 32% berpotensi menurunkan kinerja ekspor, terutama untuk komoditas yang sangat bergantung pada pasar AS. Dampaknya berasal dari penurunan daya saing harga sehingga volume ekspor sektor padat karya bisa menurun.
Namun secara makro, ia menilai pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi tetap bersifat moderat karena pangsa ekspor ke AS hanya sebagian dari total ekspor nasional.
Fondasi ekonomi Indonesia yang ditopang oleh konsumsi domestik, investasi yang terus tumbuh, serta percepatan transformasi industri membuat tekanan tarif tidak akan mengubah arah fundamental ekonomi Indonesia.
“Data terakhir juga menunjukkan bahwa meskipun ada tarif, kita tetap mencatat surplus terhadap AS. Yang penting ke depan adalah mitigasi, termasuk negosiasi business-to-business,” pungkas Telisa.
Selanjutnya: Valuasi Superbank Terbilang Murah, Saham Bank Digital Lain Bisa Terdampak
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (11/12), Hujan Sangat Lebat di Provinsi Berikut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













