Reporter: Handoyo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penggunaan keuangan negara selama semester II-2014 kembali menemukan ribuan kasus penyelenggaraan pemerintahan yang merugikan negara. Total kerugian finansial dari kasus tersebut senilai Rp 14,75 triliun, turun dibandingkan semester I-2014 Rp 30,87 triliun.
Dampak finansial itu terdiri dari kerugian negara secara langsung Rp 1,42 triliun. Potensi kerugian negara senilai Rp 3,77 triliun dan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 9,55 triliun. "Semua itu berasal dari 3.293 kasus ketidakpatuhan terhadap undang-undang," kata Harry Azhar Azis, Ketua BPK, saat menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II-2014 ke DPR, Selasa (7/4).
Kasus-kasus itu berasal dari hasil pemeriksaan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD), serta badan lainnya (lihat tabel). Hasil pemeriksaan di BUMN dan badan lainnya mendominasi temuan.
Temuan kasus di BUMN dan badan lainnya antara lain dari PT Pengembangan Armada Niaga nasional (PANN) yang merugi Rp 55,05 miliar. Kerugian berasal dari pembiayaan anjak piutang (pemindahan) yang ternyata fiktif sehingga piutang macet. Ini terjadi karena manajemen PANN kurang hati-hati.
Di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), BPK menemukan kekurangan penerimaan Rp 6,19 triliun. Kekurangan ini berasal dari tunggakan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atas overlifting, serta penjualan kondensat yang masih tertunggak.
Pajak hilang
Dari pemerintah pusat, kerugian antara lain dari pengelolaan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) di Kementerian keuangan (Kemkeu), masih terdapat masalah yaitu penetapan target lifting migas dalam APBN/APBN-P tidak didasarkan pada target lifting yang telah disepakati.
BPK menemukan masalah penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,12 triliun yang terdiri atas potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang Rp 666,23 miliar karena 59 KKKS tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak PBB migas tahun 2013 dan 2014. Direktorat Jenderal Pajak juga tidak menetapkan PBB Migas terhadap sejumlah KKKS sehingga penerimaan PBB migas berkurang Rp 454,38 miliar.
Lalu dalam belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), ada 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk yang terhenti. Penyebabnya, pembebasan lahan yang berlarut-larut sehingga izin kontrak tahun jamak tidak diperpanjang dan merugikan kas negara senilai Rp 562,66 miliar.
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad berjanji akan segera menindaklanjuti temuan itu. Komisi yang membidangi masalah keuangan ini akan memanggil menteri keuangan dan direktur jenderal pajak untuk menjelaskan temuan BPK ini. "Akan kami usut," janji Fadel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News