Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jasa titip barang atau Jastip telah menjadi salah satu model bisnis zaman now yang digemari masyarakat. Bagi penjual dan pembeli, Jastip banyak memberikan keuntungan lewat selisih harga barang yang dibeli di negara asal dengan harga di Indonesia.
Namun, Jastip sebetulnya belum diatur oleh pemerintah secara spesifik. Tetapi secara administratif pengusaha jastip sama saja dengan importir konvensional.
Baca Juga: Jastip kian marak, Bea Cukai lakukan strategi ini untuk cegah penyelewengan
Direktur Jendral Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, ketika pebisnis Jastip yang melakukan bisnis via media sosial maupun e-commerce melebihi ketentuan yang berlaku harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Pelaku Jastip diminta untuk membuat Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) dan membayar kewajiban berupa bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Jika pelaku jasa titipan ternyata tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), maka petugas akan meminta untuk membuat NPWP agar datanya dapat ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kemudian membayar biaya administratif yang meliputi tarif bea masuk sebesar 10%, Pajak Penambahan Nilai 10%, PPh 22 impor 2,5-22,5%, dan PPnBM hingga 50% dari nilai barang.
Asal tahu saja, pemerintah mengatur nilai pembebasan sebesar US$ 500 per penumpang yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.
Baca Juga: Penggunaan medsos dibatasi, penjualan toko online turun
Selain itu, metode lain yang juga sering dilakukan para pelaku jasa titipan adalah dengan menggunakan kurir dan melalui barang kiriman.
“Dalam hal ditemukan pelanggaran oleh petugas Bea Cukai, maka batas nilai pembebasan tidak berlaku,” kata Heru dalam Konferensi Pers Ber Cukai Tertibkan Jastip di kantor DJBC, Jakarta, Jumat (27/9).