kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemenkeu sebut riset Legatum Institute ketingalan zaman


Rabu, 16 Oktober 2019 / 15:41 WIB
Kemenkeu sebut riset Legatum Institute ketingalan zaman


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ligatum Institute dalam risetnya yang berjudul Economic Openness Indonesia Case Study 2019 menyebutkan jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan yang beroperasi di Indonesia mencapai 43 jenis. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu indikator sulitnya dunia usaha untuk berkembang.  

Sebagai riset dasar, Legatum Institue menggunakan riset data berdasarkan laporan World Bank yakni Ease of Doing Business (EODB) tahun 2019 yang dipublikasikan akhir tahun lalu untuk menggambarkan posisi Indonesia untuk kategori jumlah pembayaran pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktoral Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan riset Legatum Institute sudah tida relevan dengan perpajakan Indonesia saat ini, sebab sudah ketinggalan zaman. 

Baca Juga: Pemerintah mengakui tidak mudah mengumpulkan pajak e-commerce

“Indikator atau score kita untuk numbers of payment per years adalah 43. Jadi tidak ada yang baru dari Legatum Institute,” kata Hestu kepada Kontan.co.id, Rabu (16/10).

Legatum Institute menjelaskan metodologi yang dipergunakan dalam menghitung score pembayaran pajak. Ada beberapa indikator yang diteliti pertama indicator pembayaran pajak yang mencerminkan jumlah total pajak dan kontribusi yang dibayarkan, metode pembayaran, frekuensi pembayaran, frekuensi pengarsipan, dan jumlah lembaga serta perusahaan yang terlibat sebagai Wajib Pajak (WP).

Kedua, penerimaan pajak yang dihitung berdasarkan korporasi seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Pajak Penambahan Nilai (PPN), dan pajak tenaga kerja yang ditanggung karyawan atau PPh OP. “Pajak-pajak ini biasanya dikumpulkan oleh perusahaan dari konsumen atau karyawan atas nama agen pajak,” tulis Legatum Institute.

Baca Juga: Pemerintah masih kesulitan mengatur kepatuhan pajak e-commerce

Ketiga, menghitung jumlah pembayaran pajak melalui electronic filling atau e-filling. Jika pengarsipan dan e-filling lengkap dan digunakan oleh sebagian besar bisnis skala menengah, perhitungan pajak berdasarkan jangka waktu tahunan.

Keempat, untuk pembayaran pajak yang dilakukan melalui pihak ketiga, seperti pajak atas bunga yang dibayarkan oleh lembaga keuangan atau pajak bahan bakar yang dibayarkan oleh distributor bahan bakar, hanya satu pembayaran yang dimasukkan.

Kelima, jika lebih dari dua komponen pajak atau kontribusi diajukan dan dibayar bersama menggunakan formulir yang sama maka masing-masing pembayaran bersama ini dihitung satu kali.  

Hestu menjelaskan perhitungan itu sudah tidak tepat lagi, terutama di bagian metodologi yang menggunaan e-filling. Sebab saat ini pihaknya telah melakukan berbagai  perbaikan seperti mendorong pemanfaatan e-filing dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Masa dan SPT Tahunan.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 09/PMK.03/2018 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) telah mewajibkan pelaporan e-filing SPT Masa PPh Pot/Put untuk WP yang memenuhi syarat tertentu. Selain itu juga mewajibkan untuk WP terdaftar di Kantor Perwakilan Pajak (KPP) Madya, KPP Large Tax Office (LTO), dan KPP kantor wilayah Khusus.

Baca Juga: Meski gaji besar, pegawai pajak masih haus korupsi

PMK tersebut juga menghilangkan kewajiban pelaporan SPT Masa Pot/Put dalam hal di masa tersebut tidak terdapat pemotongan/pemungutan pajak (SPT Masa Nihil).

Berdasarkan data DJP, untuk SPT Tahunan sendiri, porsi SPT yang disampaikan secara e-filing sudah mencapai 92% dari total SPT Tahunan yang disampaikan. Angka tersebut telah meningkat signifikan dari tahun 2015 yang hanya mencapai 23,17%. 

“Berbagai perbaikan dalam setahun ini belum ter-cover dalam EODB tahun lalu yang menjadi acuan Legatum Institute. Kami masih menunggu publikasi survey EODB dari World Bank. Kami yakin score-nya akan membaik,” ujar Hestu.

Baca Juga: Tren penerimaan pajak bumi dan bangunan kian melambat, ini sebabnya

Hestu menambahkan ke depan, pemerintah sedang merancang simplifikasi SPT Masa PPh. Beberapa SPT Masa akan gabung dalam satu formulir dalam rangka unifikasi SPT Masa. Sehingga mencakup beberapa kewajiban pot/put PPh. “Itu meringankan beban administrasi pelaporan pajak bagi WP,” kata Hestu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×