Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan sederet kajian baru untuk memperluas objek cukai di luar rokok dan minuman beralkohol.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, pemerintah memasukkan kajian cukai emisi kendaraan bermotor dan cukai produk pangan olahan bernatrium dalam kemasan (MBDK) dalam program pengelolaan penerimaan negara tahun 2025-2029.
Sejatinya, langkah ini sejalan dengan Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2020-2024, yang menargetkan perluasan basis penerimaan melalui kajian berbagai potensi Barang Kena Cukai (BKC) baru.
Baca Juga: Bea Cukai Gagalkan Ekspor 87 Kontainer Produk Turunan CPO, Begini Kronologinya!
Adapun sejumlah komoditas telah dan sedang dikaji potensinya sebagai objek cukai, di antaranya luxury goods, minuman berpemanis dalam kemasan, produk plastik, batu bara, dan pasir laut.
Masih dalam lampiran beleid tersebut, pemerintah juga telah melakukan penyusunan kajian potensi BKC berupa diapers dan alat manan dan minum sekali pakai, serta kajian ekstensifikasi cukai tisu basah.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan bahwa rencana Kemenkeu mengenakan cukai pada popok, alat makan sekali pakai, tisu basah, dan pangan tinggi natrium memiliki dua tujuan utama, di antaranya memperluas basis penerimaan negara dan mengendalikan konsumsi yang berdampak negatif bagi lingkungan serta kesehatan.
Penerimaan cukai selama ini masih didominasi produk tembakau, sehingga diversifikasi sumber menjadi penting. Di sisi lain, barang-barang tersebut menimbulkan eksternalitas seperti sampah plastik dan penyakit akibat kelebihan natrium.
Baca Juga: Bea Cukai dan Polri Gagalkan Ekspor Ilegal Produk Turunan CPO Senilai Rp 28,7 Miliar
"Karena itu, cukai diarahkan sebagai instrumen fiskal sekaligus pengendali perilaku konsumsi masyarakat," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (10/11).
Meski demikian, kebijakan ini berisiko menambah beban bagi kelompok rentan. Ia menekankan, popok dan tisu basah adalah kebutuhan dasar keluarga muda, sementara alat makan sekali pakai banyak digunakan UMKM kuliner.
"Tanpa tarif proporsional dan kebijakan kompensasi, beban cukai bisa bersifat regresif dan menekan daya beli," katanya.
Selain itu, efektivitas pengendalian pun bergantung pada regulasi pendukung seperti pelabelan, edukasi konsumen, dan infrastruktur daur ulang agar tidak sekadar menjadi sumber penerimaan baru.
Secara keseluruhan, Rizal menilai bahwa perluasan cukai ini dapat bernilai strategis jika dirancang bertahap, berbasis kajian dampak teknokratis yang dalam, baik sosial-ekonomi maupun lingkungan.
Selain itu, terintegrasi dengan kebijakan lingkungan dan kesehatan publik.
Untuk itu, pemerintah perlu perlu melakukan langkah-langkah berikut, mulai dari menetapkan tarif moderat, memperkuat pengawasan, dan menyiapkan mitigasi bagi UMKM.
Baca Juga: Bea Cukai Lakukan 22.064 Penindakan Hingga September 2025
"Dengan desain, waktu dan implementasi yang tepat, cukai baru bisa menjadi instrumen fiskal progresif yang mendorong perilaku konsumsi lebih sehat dan ramah lingkungan tanpa menimbulkan distorsi ekonomi," imbuh Rizal.













