Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan membantah terkait pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyatakan bahwa program hirilisasi nikel hanya menguntungkan China saja. Faisal menyebut 90% keuntungan dari program tersebut hanya dinikmati China.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, saat pemerintah mulai melakukan program hiirlisasi nikel, termasuk melarang ekspor nikel pada 2020 lalu, pendapatan negara justru meningkat 11 kali lipat dari 2016 hingga 2022.
Dia membeberkan, pendapatan negara dari pajak perusahaan smelter awalnya hanya Rp 1,65 triliun pada tahun 2016. Namun di tahun 2022, terjadi peningkatan drastis menjadi Rp 17,96 triliun.
“Ini sekaligus sebagai klarifikasi seolah Indonesia tidak mendapatkan apa-apa,” tutur Prastowo dalam cuitan akun twitternya @prastow, Sabtu (12/8).
Baca Juga: Pemerintah Klaim Hilirisasi Nikel Serap Ribuan Tenaga Kerja
Dia menambahkan, jika dilihat lebih luas dari keseluruhan industri smelter, besi dan baja, pendapatan negara juga meningkat cukup signifikan, dari Rp 7,9 triliun pada 2016, menjadi Rp 37,3 triliun, alias naik hampir 5 kali lipat.
Tidak hanya itu, Prastowo menjabarkan masih ada pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam, dan royalti saat eksploitasi bahan mineral yang diterima negara dari adanya program hirilisasi nikel ini.
“Selain itu, ada juga pajak daerah dan efek ganda yang bisa dinikmati pemerintah daerah dan masyarakat setempat,” imbuhnya.
Selain itu, Prastowo juga turut membantah terkait pernyataan Faisal Basri, yang menyatakan pemerintah memberikan bebas pajak keuntungan badan pada perusahaan smelter karena menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Menurut Prastowo, pemerintah telah menetapkan pemungutan PNBP dan royalti atas nikel dan produk pemurniannya.
“Bang @FaisalBasri yang baik, saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian,” jelas Prastowo.
Baca Juga: Kemenperin Beberkan Dampak Positif Program Hilirisasi Nikel pada Ekonomi Nasional
Dia menjelaskan, sejalan dengan amanat UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi. Terkait kebijakan tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya.
Diantaranya, pelarangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020, serta pemberian tarif royalti yang berbeda antara IUP yang hanya memproduksi/menjual bijih nikel dibandingkan dengan IUP yang sekaligus memiliki smelter.
Tarif royalti untuk bijih nikel ditetapkan 10% dan tarif untuk Fero Nikel atau Nikel Matte ditetapkan sebesar 2%.
Dia menjelaskan, royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan terhadap eksploitasi sumber daya alam, dan diberlakukan untuk umum.
“Untuk Izin Usaha Industri pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak-pajak lain PPh, PPN, Pajak Daerah dan lainnya,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News