Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan penyeragaman kemasan rokok atau plain packaging alias kemasan polos dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) menuai kritik dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI).
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi memperparah peredaran rokok ilegal, mendorong fenomena downtrading, serta mengancam penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
Ketua AMTI, Edy Sutopo, menyatakan penerapan plain packaging akan mendorong perokok beralih ke produk rokok murah, yang sebagian besar berasal dari pasar ilegal.
Ia menilai kondisi ini tidak terlepas dari kenaikan tarif cukai yang terus berlanjut sehingga harga rokok legal semakin mahal.
“GHW (Graphic Health Warning) itu jika digabungkan dengan plain packaging akan memicu berkembangnya rokok ilegal. Yang sekarang saja, yang rokoknya itu gambarnya berwarna-warni, rokok ilegal meningkat sangat tajam,” ujar Edy dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).
Hilangnya Identitas Merek Dinilai Perburuk Pengawasan
Edy menjelaskan, penyeragaman kemasan rokok akan menghilangkan identitas merek yang selama ini menjadi pembeda utama antara produk legal dan ilegal.
Menurut dia, kondisi tersebut membuat produk legal lebih rentan dipalsukan dan menyulitkan konsumen membedakan rokok resmi dan ilegal.
Baca Juga: Pinjol Menggila! Tagihan Warga RI Tembus Rp 92,9 Triliun
Kesulitan itu, lanjut Edy, akan berdampak langsung pada efektivitas pengawasan di lapangan. Pemalsuan kemasan diyakini semakin mudah dilakukan ketika seluruh merek menggunakan tampilan seragam.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat peredaran rokok ilegal pada 2023 meningkat hingga 6,86 persen. Edy menilai angka sebenarnya berpotensi lebih tinggi dan bisa semakin memburuk jika kebijakan plain packaging diterapkan.
Kekhawatiran Dampak terhadap Penerimaan Cukai
AMTI juga menyoroti dampak ekonomi dari kebijakan tersebut, khususnya terhadap penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
Edy menjelaskan, meningkatnya peredaran rokok ilegal serta pergeseran konsumsi ke produk murah akan menggerus setoran cukai ke kas negara.
“Dampak paling nyata adalah kerugian penerimaan negara dari cukai. Selain itu, alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima pemerintah daerah pasti menurun drastis. Ini merugikan daerah yang mengandalkan dana tersebut untuk kesehatan dan pembangunan,” tegasnya.
Baca Juga: Peringatan Mendagri: Harga Tiket Dilarang Melonjak Saat Nataru
Sorotan terhadap Dasar Hukum
Dari sisi regulasi, AMTI mempertanyakan kewenangan Kemenkes dalam mengatur kemasan dan identitas merek rokok.
Edy berpendapat, pengaturan tersebut merupakan ranah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Menurutnya, Kemenkes hanya memiliki kewenangan untuk mengatur peringatan kesehatan pada kemasan.
“Kemenkes hanya memiliki wewenang pada peringatan kesehatan. Jika sampai mengatur kemasan dan merek, itu sudah mengintervensi ranah yang diatur oleh undang-undang lain,” kata Edy.












