kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,00   -3,02   -0.34%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kegiatan ekonomi tertekan, impor bahan baku terus menurun


Rabu, 16 Oktober 2019 / 13:11 WIB
Kegiatan ekonomi tertekan, impor bahan baku terus menurun
ILUSTRASI. Warga melihat aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/7/2019). BPS melaporkan nilai impor Indonesia sebesar US$ 14,26 miliar pada September 2019, turun 2,41% secara tahunan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/WSJ.


Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia sebesar US$ 14,26 miliar pada September 2019. Nilai impor memang naik tipis dibanding Agustus 2019, namun tetap menurun 2,41% jika dibandingkan dengan impor pada September 2018.

Secara kumulatif sepanjang Januari-September 2019 sebesar US$ 126,12 miliar atau turun 9,12% secara year-on-year (yoy). Berdasarkan golongan penggunaan barang, BPS mencatat penurunan impor terbesar sepanjang periode itu terjadi pada bahan baku atau penolong. 

Baca Juga: IMF: Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan emerging markets lain akan membaik di 2020

Impor bahan baku/penolong tercatat US$ 93,45 miliar selama Januari-September 2019. Nilai impor itu turun 10,22% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 104,08 miliar. 

Secara proporsional, impor bahan baku/penolong berperan 74,1% terhadap total impor Indonesia hingga September lalu.

Penurunan impor juga terjadi pada barang modal yang memiliki kontribusi 16,7% terhadap total impor. Untuk periode yang sama, impor barang modal tercatat sebesar US$ 21,01 miliar atau turun 4,13% yoy. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang, tren penurunan impor bahan baku/penolong serta barang modal sepanjang tahun ini tak terlepas dari iklim ekonomi global yang lesu. Namun, kondisi ekonomi dalam negeri juga menjadi penyebabnya. 

Hariyadi mengatakan, para pelaku usaha mengkhawatirkan daya beli masyarakat yang melemah. Dengan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tak sesuai harapan atau hanya berkisar di 5%, kesejahteraan dan daya beli pun sulit terungkit. 

Baca Juga: Lagi, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global jadi 3%

“Kualitas pertumbuhan ekonomi kita juga belum optimal. Dalam arti yang menikmati pertumbuhan hanya kelas menengah ke atas sehingga kelompok menengah ke bawah sebetulnya mengalami kondisi tertekan,” tutur Hariyadi. 

Kekhawatiran menurunnya daya beli, ditambah kondisi ekonomi global yang tidak pasti membuat pelaku usaha enggan berekspansi. Lantas, kebutuhan terhadap bahan baku/penolong dan barang modal yang selama ini dipasok melalui impor pun menurun. 

Kondisi ini, menurut Hariyadi, harus segera diperbaiki. Salah satunya dengan mendorong pembukaan lapangan kerja formal untuk memastikan pendapatan masyarakat terjaga sehingga mampu berkonsumsi dengan stabil. 

Baca Juga: Pengusaha sebut kenaikan upah buruh tahun 2020 masih mengacu pada PP 78/2015

“Masalahnya sekarang porsi pekerja informal di Indonesia makin besar. Bukannya tidak setuju dengan pekerjaan informal, tapi kalau terlalu besar, pekerja informal itu tidak masuk dalam pencatatan ekonomi kita,” ujarnya. 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani menambahkan, penciptaan lapangan kerja yang luas mustahil terjadi tanpa adanya industrialisasi yang kuat di Indonesia.

Selain itu, industrialisasi juga krusial untuk memastikan pasokan bahan baku/penolong serta barang modal untuk sektor produksi di dalam negeri tidak lagi bergantung pada impor di masa depan. 

“Industrialisasi ini kita sudah bicarakan sejak lama tapi kenyataannya belum ada pengembangan yang berarti pada industri hulu kita. Ini harus menjadi fokus,” kata Shinta. 

Baca Juga: Mengekor pelonggaran moneter global, Korea Selatan gunting suku bunga acuan

Shinta mengonfirmasi, penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal sampai September lalu terjadi seiring dengan pnurunan kinerja industri di tengah perekonomian domestik maupun eksternal yang semakin sulit. 

“Kita harus bersiap-siap. Maksud saya, walaupun dikatakan Indonesia masih sehat, saya rasa kita tetap harus siap-siap jangan sampai kita masuk ke dalam resesi. Kita harus antisipasi,” tandasnya. 

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara melihat penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal sebagai cerminan keyakinan usaha dan kinerja industri yang menurun sepanjang tahun ini. 

Setidaknya terlihat dari kinerja sektor industri pengolahan pada kuartal III-2019 yang menurut laporan Bank Indonesia (BI) lebih rendah dari kuartal sebelumnya yaitu 52,04% (PMI). Perlambatan ekspansi kegiatan usaha juga diprakirakan akan terus berlanjut di kuartal IV-2019 dengan proyeksi PMI hanya 51,9%. 

Baca Juga: Periode pertama tinggal menghitung hari, ini target yang tak bisa dicapai Jokowi

Sejalan dengan itu, rata-rata kapasitas produksi terpakai di kuartal III-2019 juga lebih rendah yaitu 75,42%, turun dari rata-rata 77,18% pada kuartal sebelumnya. 

“Turunnya pembelian bahan baku dan barang modal artinya industri manufaktur menurunkan kapasitas produksinya. Pelaku usaha menahan diri untuk ekspansi dan berproduksi karena berhati-hati konsumsi dalam negeri berpotensi turun, selain permintaan global yang juga sudah turun,” tutur Bhima. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×