Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah menaikkan lagi suku bunga acuan 7-day reverse repo rate untuk kedua kalinya pada tahun ini sebesar 25 bps setelah beberapa waktu lalu menaikkan 25 bps. Hal ini untuk merespon gejolak dari global.
Dengan dinaikkannya suku bunga acuan, maka pemerintah perlu cari cara agar ekonomi tetap bisa tumbuh optimal. Meskipun, efek kenaikan suku bunga ke pertumbuhan ekonomi diyakini tak langsung bertranslasi.
Ekonom Maybank Juniman mengatakan, pekerjaan rumah pertama yang ada adalah defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Hal ini, menurut tidak bisa diselesaikan secara cepat dan tidak bisa diselesaikan oleh BI sendiri.
“Pemerintah yang bisa menurunkan defisitnya. Ada dua cara, meningkatkan ekspor atau menekan impor. Tapi kalau menekan impor, ekonomi melambat, yang paling rasional ya meningatkan ekspor,” katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (30/5).
Meski begitu, menurut Juniman, CAD masih dalam koridor yang aman, yakni di bawah 3%. Oleh karena itu, pemerintah bisa fokus ke PR selanjutnya sambil berusaha menekan CAD, yakni stabilisasi di sisi fiskal.
“Defisit anggaran harus dijaga, lalu pastikan semua proyek jalan sehingga ekonomi tumbuh. Kalau pemerintah bisa disiplin dengan dana desa, PKH dan lain-lain itu bisa baik, itu tentu akan berikan dampak positif untuk minimalisir suku bunga BI yang sudah naik,” jelasnya,
Apalagi, BI juga sudah memberikan ruang untuk merelaksasi kebijakan makroprudensial melalui relaksasi rasio pinjaman atau kredit terhadap nilai agunan (loan to value atau LTV) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
PR selanjutnya adalah menjaga stabilitas harga-harga. Sebab, daya beli merupakan komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi
“Sehingga investor asing akan lihat kita atraktif dan di sisi lain ada stabilitas di politik dan makro yang bisa dijaga,” ucapnya.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan, permintaan kredit masih belum kuat karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih tertekan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjalankan kebijakan fiskal yang fokus pada daya beli.
“Untuk dorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mesti menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif, dengan prioritas utama pada perbaikan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Eric melihat, hal ini sudah diupayakan oleh pemerintah via berbagai kebijakan, misalnya bansos dan subsidi energi agar harga BBM subsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak naik. Dengan demikian, kebijakan ini tinggal dilihat saja apakah berhasil atau tidak.
Namun demikian, masih ada yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. “Yakni untuk jaga stabilitas harga, pemerintah mesti jaga ketersediaan pasokan barang. Dan berusaha untuk tidak naikkan administered prices,” jelasnya.
Ia melanjutkan, sehatnya daya beli masyarakat juga menentukan pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi. Sebab, jika konsumsi masyarakat menguat, investasi bisa tumbuh lebih cepat.
“Salah satu faktor yang pengaruhi keputusan investasi investor sektor riil yang berorientasi pasar domestik adalah kondisi demand atau konsumsi masyarakat,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News