Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak dapat diterapkan untuk komoditas beras premium.
Ia menerangkan beras sama hanya dengan komoditas lain yang dapat diproses lebih lanjut guna memperoleh nilai tambah. Proses itu membutuhkan investasi dan teknologi yang ujungnya memperbesar ongkos produksi.
Selain itu, target pasar dari beras premium bukan untuk masyarakat luas, melainkan segmen tertentu yang berpenghasilan tinggi. Sehingga mereka rela merogoh dalam-dalam sakunya bila ada produsen yang mampu mengelola beras sehingga mengandung antioksidan untuk awet muda misalnya.
Baca Juga: Beras Operasi Pasar Tersalur 776.000 Ton
"Mengapa negara musti sibuk mengurus konsumen tajir yang tak terkendala daya beli. Bukankah mereka membeli nilai tambah dan eksklusivitas?," kata Khudori pada kontan.co.id, Senin (25/9).
Menurutnya, HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau konsisten dengan latar itu, konsumen yang hendak disasar sudah jelas yaitu masyarakat berpenghasilan rendah.
Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir.
"Dengan cara ini, beleid HET tidak menutup peluang bagi para inovator untuk meningkatkan nilai tambah beras. Apapun bentuk inovasinya," jelas Khudori.
Baca Juga: Sejumlah Ritel Batasi Pembelian Beras oleh Konsumen
Diketahui, pemerintah mengatur HET beras premium melalui Peraturan Badan Nasional (Perbadan) No 7 Tahun 2023.
Dalam Balied etrsebut HET beras premium dibagi menjadi tiga zona yaitu zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi dengan HET Rp 13.900/kg.
Kemudian, zona 2 meliputu Sumatra selain Lampung dan Sumatra Selatan, NTT, Kalimantan dengan HET 14.400/kg dan zona 3 meliputi Maluku dan Papua yaitu Rp 14.800/kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News