Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejumlah kebijakan fiskal yang dijalankan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dinilai berani dan progresif, namun sebagian di antaranya masih berisiko terhadap stabilitas fiskal.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan pembayaran dana kompensasi energi setiap bulannya sebesar 70% merupakan langkah yang patut diapresiasi. Menurutnya, cara ini membantu menjaga arus kas BUMN energi seperti Pertamina dan PLN.
“Itu hal yang cukup positif, karena dengan adanya anggaran yang tiap bulan, itu kan artinya tidak ada lagi keterlambatan dan juga Pertamina, PLN bisa menggunakan anggarannya untuk melakukan misalnya strategi bisnis lainnya,” kata Bhima kepada Kontan, Minggu (26/10).
Namun, Bhima menilai kebijakan lain seperti injeksi likuiditas Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran lebih (SAL) ke lima perbankan plat merah dinilai berisiko, lantaran kualitas kredit sedang menurun, dan dikhawatirkan Non-Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah meningkat, ujung-ujungnya bisa menimbulkan kerugian negara, serta ujungnya direksi BUMN yang disalahkan.
Baca Juga: Perang Dagang China-AS Belum Usai, Ini Pengaruhnya pada Arus Modal Asing ke Pasar RI
Pasalnya, Bhima mencatat, dalam waktu bersamaan kredit menganggur dari bank BUMN masih cukup besar, atau sekitar Rp 480 triliun, sementara untuk total undisburse loan atau pinjaman yang belum dicairkan masih sekitar Rp 2.400 triliun lebih.
Lebih lanjut, ia juga khawatir, misalnya saja bank-bank tersebut menyalurkan pinjaman melalui Koperasi Desa Merah putih. Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan beban fiskal baru, terutama jika terjadi gagal bayar dalam skala besar.
“Injeksi likuiditas itu beresiko sebenarnya, karena banyak Koperasi Desa belum siap, kemudian kualitas kreditnya juga bisa menurun, padahal itu kan anggaran pemerintah. Kalau NPL-nya meningkat, ya yang dikhawatirkan ujung-ujungnya bisa membuat kerugian negara,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait Kementerian Keuangan menyetujui Dana Desa dijadikan jaminan Koperasi Desa Merah Putih, yang dinilai akan semakin menambah beban berat fiskal kedepannya, terutama jika terjadi gagal bayar dalam skala besar.
Bhima memperkirakan risiko-risiko tersebut baru akan terlihat pada kuartal II atau III tahun 2026. Risiko ini juga dinilai akan berkorelasi terhadap pelebaran defisit anggaran, penambahan utang baru, apalagi kalau terjadi banyak kredit-kredit sampai menggunakan Dana Desa atau diputihkan.
“Jadi perubahan ini (kebijakan Purbaya) eksperimental, tapi eksperimentalnya sebenarnya sedang bertaruh dengan resiko NPL dan resiko kerugian negara, akibat tata kelolanya belum siap,” jelasnya.
Lebih jauh, Bhima menilai arah kebijakan fiskal di bawah Menkeu Purbaya perlu dikembalikan ke jalur yang lebih ideal. Pertama, fiskal perlu lebih aktif mendorong ekonomi, tapi pengelolaan risikonya tetap harus menjadi prioritas utama.
“Kedua, Kemenkeu sebaiknya fokus mengurus fiskal saja, jangan sampai ikut masuk ke intervensi moneter,” tandasnya.
Baca Juga: Ini Sentimen yang Mempengaruhi Aliran Modal Asing Masuk di Kuartal IV-2025
Selanjutnya: Perang Dagang China-AS Belum Usai, Ini Pengaruhnya pada Arus Modal Asing ke Pasar RI
Menarik Dibaca: IHSG Diperkirakan Terkoreksi, Ini Rekomendasi Saham MNC Sekuritas (27/10)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













