kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Selasa, 17 Agustus 2021 / 13:19 WIB
Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara
ILUSTRASI. Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

Lalu pasal 56 ayat (1). Made menyebut, yang memiliki otoritas dalam memeriksa bukti keaslian surat dan/atau dokumen adalah Majelis Komisi. Jadi panitera hanya bersifat membantu Majelis Komisi dalam persidangan dalam hal administrasi persidangan. Intinya yang berwenang memeriksa bukti surat dan/atau dokumen hanya Majelis Hakim.

“Tidak lebih daripada itu. Karena UU mengatur seperti itu, baik UU hukum acara pidana maupun UU hukum acara perdata yang best practice berlaku di pengadilan,” terang dia.

Selanjutnya pasal 60 ayat (3) yang menyebutkan, Majelis Komisi dalam melakukan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Panitera. Made menilai pengaturan tersebut bertentangan dengan pengaturan dalam UU.

“Musyawarah Majelis Komisi itu harus bersifat rahasia baik perkara pidana maupun perdata. Lebih – lebih yang menyangkut perkara bidang ekonomi. Pasal 60 ayat (3) ini perlu diubah yang intinya Majelis Komisi tidak perlu dibantu oleh Panitera dalam Musyarawarah Majelis Komisi karena bersifat rahasia,” ujar Made.

Selain itu pada pasal 65 ayat (3) yang menyebutkan, Dalam hal Terlapor menolak menerima Petikan dan Salinan Putusan Komisi atau tidak diketahui alamat jelasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Putusan Komisi akan diumumkan kepada publik melalui situs web Komisi.

Baca Juga: KPPU sebut 339 perusahaan belum jalankan putusan yang sudah inkracht

“Selain di upload di website nya KPPU, kita mencontoh juga UU tentang Kepailitan sebaiknya diumumkan juga di koran berskala nasional,” ucap Made.

Made mengatakan, pasal 67 ayat (3) uruf a perlu direvisi. Hal ini agar tidak melampaui kewenangan yang diberikan UU kepada KPPU.

“Kalau KPPU minta diberikan wewenang untuk melakukan sita perdata ini justru akan sangat berbias, sangat mungkin KPPU dianggap melampaui kewenangan dalam pelaksanaan tugas,” jelas Made.

Direktur Penindakan KPPU Hadi Susanto mengatakan, revisi peraturan tersebut karena telah terbitnya UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan pelaksananya. Sebab itu, pihaknya akan merumuskan aturan tata cara penanganan perkara yang mengikuti standar proses pemberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini tentunya tidak lepas dari UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sehingga sesuai amanat UU cipta kerja terdapat hal maupun norma-norma yang harus kita sesuaikan dan kita selaraskan,” ucap Hadi.

Selanjutnya: Soal pengaturan kelonggaran pembayaran denda persaingan usaha, ini kata ICLA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×