kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Selasa, 17 Agustus 2021 / 13:19 WIB
Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara
ILUSTRASI. Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan melakukan revisi Peraturan KPPU nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Perkom 1/2019).

Ketua Umum Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA) Asep Ridwan mengatakan, pasca UU cipta kerja, pasar bersangkutan menjadi tolak ukur dalam penentuan besaran denda sehingga kedudukannya penting dalam setiap perkara. 

Menurutnya, perlu diatur lebih rinci hal yang harus ada dalam laporan dugaan pelanggaran (LDP). Meliputi uraian mengenai kejelasan perbuatan, waktu, dan tempat/wilayah dugaan pelanggaran.

“Intinya sesuatu yang menyangkut mengenai masalah kejelasan pasar bersangkutan karena kalau kita melihat sekarang patokan dalam menentukan besaran denda, jenis sanksi terhadap ketentuan apapun berdasarkan pasar bersangkutan. Jadi mesti dipastikan dalam LDP adanya kejelasan pasar bersangkutan,” ujar Asep dalam Forum Serap Aspirasi Publik Perkom nomor 1 tahun 2019, Senin (16/8).

Baca Juga: KPPU gandeng ITS atasi persoalan penegakan hukum persaingan usaha

Asep mengatakan, pada awal pemeriksaan pendahuluan,investigator penuntut membacakan dan/atau menyampaikan laporan dugaan pelanggaran (LDP). Terlapor berhak memberikan tanggapan terhadap LDP dengan mengajukan alat – alat bukti.

Ia mengatakan, untuk keperluan pembelaan, seharusnya terlapor diberikan salinan berkas perkara yang dijadikan landasan investigator dalam menyusun LDP. Sebagai contoh, dalam hukum acara pidana, terdakwa mendapatkan salinan berkas perkara untuk keperluan pembelaan.

“Jaminan ini penting dalam rangka menyeimbangkan kedudukan yang tidak seimbang antara KPPU/investigator denga terlapor,” ucap dia.

Lebih lanjut Asep meminta, adanya pengaturan ulang dalam substansi pasal 29 ayat (3) dan pasal 42 ayat (4) terkait kehadiran paling sedikit Anggota Majelis Komisi dalam pemeriksaan pedahuluan dan/atau pemeriksaan lanjutan.

Asep menyatakan, setiap anggota Majelis Komisi bersifat independen dan mempunyai hak suara masing – masing. Ketentuan minimal 1 orang terutama pada agenda tertentu tidak sesuai best practice proses peradilan yang fair. Ketentuan tersebut mengakibatkan sidang pemeriksaan saksi/ahli kadang hanya dihadiri 1 orang Majelis.

Baca Juga: ​Apa yang dimaksud dengan Hak Cipta? Inilah penjelasannya

“Pada agenda tertentu terutama pembuktian pada pemeriksaan lanjutan seharusnya sidang dihadiri lengkap anggota Majelis,” ucap Asep.

Ketua Bidang Kebijakan Publik, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, pentingnya penerapan due process of law karena KPPU yang punya multifungsi kewenangan dalam menangani perkara persaingan usaha.

Sutrisno mengapresiasi pengaturan pemeriksaan keberatan di Pengadilan Niaga yang dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sampai 12 bulan yang terdapat dalam PP nomor 44 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Aturan itu mesti ada juga dalam Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan KPPU.

“Itu pentingnya comprehensive review (dalam upaya pengajuan keberatan atas putusan KPPU),” ucap Sutrisno.

Kemudian, pengusaha meminta agar setiap perkara inisiatif yang dilakukan KPPU harus diuji apakah memang menyangkut perilaku anti persaingan dan kepentingan publik. Jika tidak, sebaiknya KPPU tidak masuk ke sana karena energi yang digunakan KPPU untuk memulai sebuah perkara yang sifatnya inisiatif terbilang mahal. Mulai dari penelitian, penyelidikan, penyidikan sampai persidangan.

Baca Juga: Kemenkeu: Perusahaan tak bayar denda putusan KPPU, dicatat sebagai piutang

“Demikian juga bagi pengusaha yang dipanggil terus dan menghabiskan waktu. Jadi tolong perkara inisiatif dimensinya harus betul – betul anti persaingan dan menyangkut kepentingan publik. Tidak kemudian sentimen antar usaha, kita bisa menggunakan KPPU untuk melakukan tindakan hukum,” jelas dia.

Kemudian, terkait kondisi pandemi saat ini, pengusaha mendukung persidangan secara online. Namun sidang juga mesti dilakukan secara offline dengan protokol kesehatan yang ketat pada sejumlah tahap tertentu.

“Misalnya dalam memeriksa alat bukti tidak mungkin bisa dilakukan secara online. Harus secara fisik dengan protokol kesehatan yang ketat,” terang Sutrisno.

Sementara itu, Hakim Tinggi pada Pusdiklat Mahkamah Agung RI, I Made Sukadana mengatakan, perlu adanya revisi pasal 29 ayat (3) dan pasal 42 ayat (4) terkait kehadiran paling sedikit Anggota Majelis Komisi dalam pemeriksaan pedahuluan dan/atau pemeriksaan lanjutan.

“Dari best practice prinsip peradilan yang fair ini tidak tepat,” ucap Made.

Kemudian, Made menilai pengaturan pasal 30 ayat (6) huruf b dan huruf c tidak tepat. Apalagi jika terlapor sudah dipanggil selama tiga kali namun tidak hadir.

“Saran saya sebelum dilakukan pemeriksaan pendahuluan, seharusnya KPPU sudah yakin minimal 2 bukti sudah dipegang, kalau sudah dipegang minimal 2 bukti yang sah itu maka tidak sulit memutuskan adanya pelanggaran UU sehingga terlapor yang telah dipanggil secara patut tiga kali dan tidak hadir, sudah pantas mendapat ganjaran,” jelas Made.

Baca Juga: Terdapat 339 Pihak Menunggak Denda KPPU Dengan Total Sebesar Rp 380,8 Miliar

Lalu pasal 56 ayat (1). Made menyebut, yang memiliki otoritas dalam memeriksa bukti keaslian surat dan/atau dokumen adalah Majelis Komisi. Jadi panitera hanya bersifat membantu Majelis Komisi dalam persidangan dalam hal administrasi persidangan. Intinya yang berwenang memeriksa bukti surat dan/atau dokumen hanya Majelis Hakim.

“Tidak lebih daripada itu. Karena UU mengatur seperti itu, baik UU hukum acara pidana maupun UU hukum acara perdata yang best practice berlaku di pengadilan,” terang dia.

Selanjutnya pasal 60 ayat (3) yang menyebutkan, Majelis Komisi dalam melakukan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Panitera. Made menilai pengaturan tersebut bertentangan dengan pengaturan dalam UU.

“Musyawarah Majelis Komisi itu harus bersifat rahasia baik perkara pidana maupun perdata. Lebih – lebih yang menyangkut perkara bidang ekonomi. Pasal 60 ayat (3) ini perlu diubah yang intinya Majelis Komisi tidak perlu dibantu oleh Panitera dalam Musyarawarah Majelis Komisi karena bersifat rahasia,” ujar Made.

Selain itu pada pasal 65 ayat (3) yang menyebutkan, Dalam hal Terlapor menolak menerima Petikan dan Salinan Putusan Komisi atau tidak diketahui alamat jelasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Putusan Komisi akan diumumkan kepada publik melalui situs web Komisi.

Baca Juga: KPPU sebut 339 perusahaan belum jalankan putusan yang sudah inkracht

“Selain di upload di website nya KPPU, kita mencontoh juga UU tentang Kepailitan sebaiknya diumumkan juga di koran berskala nasional,” ucap Made.

Made mengatakan, pasal 67 ayat (3) uruf a perlu direvisi. Hal ini agar tidak melampaui kewenangan yang diberikan UU kepada KPPU.

“Kalau KPPU minta diberikan wewenang untuk melakukan sita perdata ini justru akan sangat berbias, sangat mungkin KPPU dianggap melampaui kewenangan dalam pelaksanaan tugas,” jelas Made.

Direktur Penindakan KPPU Hadi Susanto mengatakan, revisi peraturan tersebut karena telah terbitnya UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan pelaksananya. Sebab itu, pihaknya akan merumuskan aturan tata cara penanganan perkara yang mengikuti standar proses pemberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini tentunya tidak lepas dari UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sehingga sesuai amanat UU cipta kerja terdapat hal maupun norma-norma yang harus kita sesuaikan dan kita selaraskan,” ucap Hadi.

Selanjutnya: Soal pengaturan kelonggaran pembayaran denda persaingan usaha, ini kata ICLA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×