kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Selasa, 17 Agustus 2021 / 13:19 WIB
Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara
ILUSTRASI. Kata para pakar hukum terkait revisi Perkom KPPU 1/2019 perihal penanganan perkara


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

Ketua Bidang Kebijakan Publik, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, pentingnya penerapan due process of law karena KPPU yang punya multifungsi kewenangan dalam menangani perkara persaingan usaha.

Sutrisno mengapresiasi pengaturan pemeriksaan keberatan di Pengadilan Niaga yang dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sampai 12 bulan yang terdapat dalam PP nomor 44 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Aturan itu mesti ada juga dalam Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan KPPU.

“Itu pentingnya comprehensive review (dalam upaya pengajuan keberatan atas putusan KPPU),” ucap Sutrisno.

Kemudian, pengusaha meminta agar setiap perkara inisiatif yang dilakukan KPPU harus diuji apakah memang menyangkut perilaku anti persaingan dan kepentingan publik. Jika tidak, sebaiknya KPPU tidak masuk ke sana karena energi yang digunakan KPPU untuk memulai sebuah perkara yang sifatnya inisiatif terbilang mahal. Mulai dari penelitian, penyelidikan, penyidikan sampai persidangan.

Baca Juga: Kemenkeu: Perusahaan tak bayar denda putusan KPPU, dicatat sebagai piutang

“Demikian juga bagi pengusaha yang dipanggil terus dan menghabiskan waktu. Jadi tolong perkara inisiatif dimensinya harus betul – betul anti persaingan dan menyangkut kepentingan publik. Tidak kemudian sentimen antar usaha, kita bisa menggunakan KPPU untuk melakukan tindakan hukum,” jelas dia.

Kemudian, terkait kondisi pandemi saat ini, pengusaha mendukung persidangan secara online. Namun sidang juga mesti dilakukan secara offline dengan protokol kesehatan yang ketat pada sejumlah tahap tertentu.

“Misalnya dalam memeriksa alat bukti tidak mungkin bisa dilakukan secara online. Harus secara fisik dengan protokol kesehatan yang ketat,” terang Sutrisno.

Sementara itu, Hakim Tinggi pada Pusdiklat Mahkamah Agung RI, I Made Sukadana mengatakan, perlu adanya revisi pasal 29 ayat (3) dan pasal 42 ayat (4) terkait kehadiran paling sedikit Anggota Majelis Komisi dalam pemeriksaan pedahuluan dan/atau pemeriksaan lanjutan.

“Dari best practice prinsip peradilan yang fair ini tidak tepat,” ucap Made.

Kemudian, Made menilai pengaturan pasal 30 ayat (6) huruf b dan huruf c tidak tepat. Apalagi jika terlapor sudah dipanggil selama tiga kali namun tidak hadir.

“Saran saya sebelum dilakukan pemeriksaan pendahuluan, seharusnya KPPU sudah yakin minimal 2 bukti sudah dipegang, kalau sudah dipegang minimal 2 bukti yang sah itu maka tidak sulit memutuskan adanya pelanggaran UU sehingga terlapor yang telah dipanggil secara patut tiga kali dan tidak hadir, sudah pantas mendapat ganjaran,” jelas Made.

Baca Juga: Terdapat 339 Pihak Menunggak Denda KPPU Dengan Total Sebesar Rp 380,8 Miliar




TERBARU

[X]
×