kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,21   7,90   0.87%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kata ekonom Indef soal langkah BI melakukan quantitative easing


Rabu, 06 Mei 2020 / 17:41 WIB
Kata ekonom Indef soal langkah BI melakukan quantitative easing


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan terus menginjeksi likuiditas dengan melakukan quantitative easing (QE). QE yang akan diberikan mencapai Rp 503,8 triliun. Kebijakan bank sentral ini menimbulkan beragam reaksi.

Menurut Bhima Yudhistira, Ekonom Menurut Ekonom Institut For Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan ada beberapa dampak yang akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia.

Baca Juga: BI siap gelontorkan likuiditas untuk ungkit pertumbuhan ekonomi

Bhima menjabarkan, saat terjadinya krisis global pada tahun 2008, beberapa negara maju seperti bank Central Amerika Serikat (AS), Bank Central Eropa dan Bank Central Inggris yang memang melakukan QE. Namun saat ini, negara-negara Amerika Latin juga mulai latah mengikuti QE tersebut.

“Ini sebenarnya yang menjadi kekhawatiran diikuti oleh negara berkembang punya risiko yang jauh QE yang dilakukan negara maju, salah satunya adalah QE ini dilakukan ketika kebijakan moneternya itu sudah tidak mampu menurunkan suku bunga acuan lebih rendah lagi,” Jelas Bhima dalam live conference, Rabu (6/5).

AS saat itu melakukan QE karena suku bunganya mendekati 0%. Sehingga negara tersebut menggunakan metode tersebut untuk memompa likuiditas.

Baca Juga: BI lakukan quantitative easing, begini respons Hipmi

Maka, saat ini posisi Indonesia dengan suku bunga 4,50% atau sangat jauh dari 0% justru memilih untuk ikut melakukan QE seperti negara maju.

Bhima juga bilang, ini merupakan salah satu kebijakan moneter yang apabila tidak dilakukan dengan hati-hati atau latah-latahan maka akan memberikan efek yang cukup berisiko. “Bukan membantu perekonomian Indonesia nantinya jika tidak hati-hati,” tutupnya.

Bhima menilai bahwa jika negara berkembang seperti Indonesia melakukan QE justru akan lebih berisiko. Menurutnya, jika dalam suatu negara tidak memiliki asset yang jelas serta pemerintah juga mendorong Bank Indonesia, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong BI melakukan QE hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar perdana atau primer, maka ini akan menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah.

Ia juga bilang, di masa pandemi Covid-19 saat ini, siapa yang akan percaya diri untuk memegang nilai tukar rupiah. Di mana saat ini untuk mengembalikan level nilai tukar rupiah ke Rp 13.000 tentunya akan sulit.

“Kalau AS saat itu melakukan QE karena mereka confident bahwa USD mereka masih akan menarik para investor. Oleh sebab itu, permintaan dolar relatif lebih stabil di banyak negara. kita tahu juga USD memang menguasai 85% more or less dari total perdagangan dunia,” tambahnya.

Menurutnya, ini merupakan suatu permasalahan yang bersifat fundamental. Artinya tidak semudah itu Bank Indonesia meniru langkah Bank Central AS, apalagi melakukan QE. “Ini akan menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah kita semakin dalam,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×