Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto
Maka, saat ini posisi Indonesia dengan suku bunga 4,50% atau sangat jauh dari 0% justru memilih untuk ikut melakukan QE seperti negara maju.
Bhima juga bilang, ini merupakan salah satu kebijakan moneter yang apabila tidak dilakukan dengan hati-hati atau latah-latahan maka akan memberikan efek yang cukup berisiko. “Bukan membantu perekonomian Indonesia nantinya jika tidak hati-hati,” tutupnya.
Bhima menilai bahwa jika negara berkembang seperti Indonesia melakukan QE justru akan lebih berisiko. Menurutnya, jika dalam suatu negara tidak memiliki asset yang jelas serta pemerintah juga mendorong Bank Indonesia, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong BI melakukan QE hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar perdana atau primer, maka ini akan menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah.
Ia juga bilang, di masa pandemi Covid-19 saat ini, siapa yang akan percaya diri untuk memegang nilai tukar rupiah. Di mana saat ini untuk mengembalikan level nilai tukar rupiah ke Rp 13.000 tentunya akan sulit.
“Kalau AS saat itu melakukan QE karena mereka confident bahwa USD mereka masih akan menarik para investor. Oleh sebab itu, permintaan dolar relatif lebih stabil di banyak negara. kita tahu juga USD memang menguasai 85% more or less dari total perdagangan dunia,” tambahnya.
Menurutnya, ini merupakan suatu permasalahan yang bersifat fundamental. Artinya tidak semudah itu Bank Indonesia meniru langkah Bank Central AS, apalagi melakukan QE. “Ini akan menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah kita semakin dalam,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News