kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kasus Atut dan Hambit, Bukti UU harus direvisi


Jumat, 27 Desember 2013 / 21:53 WIB
Kasus Atut dan Hambit, Bukti UU harus direvisi
ILUSTRASI. Dapatkan Kulit Cerah! Inilah 4 Manfaat Jeruk Bali Pomelo untuk Kulit


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan RUU Pemilukada. Dengan begitu, setiap kepala daerah yang sedang berurusan dengan proses hukum bisa segera dinonaktifkan.

ICW berkaca pada kasus Bupati Gunung Mas terpilih Hambit Bintih yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun masih berusaha dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.

Selain itu, ada juga kasus Gubernur Banten Atut Choisiyah yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun belum bisa dinonaktifkan dari jabatannya.

"Melihat fenomena ini, tentunya adalah hal yang sangat mendesak kalau Undang-Undang Pemda dan RUU Pemilukada ini harus segera direvisi," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan di dalam Jumpa pers di Kantor ICW Jakarta, Jumat (27/12).

Di dalam UU yang berlaku sekarang, kepala daerah hanya bisa dinonaktifkan menjadi terdakwa dan baru bisa diberhentikan setelah menjadi terpidana. Sementara saat menjadi tersangka, mereka tidak tersentuh.

"Karena dalam Pasal 31 ayat 1 UU Pemda menyebutkan, kepala atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/ atau tindak pidana terhadap keamanan negara," ujar Abdullah.

Menurutnya, pasal itu saat ini sudah usang dan sangat tidak relevan dengan upaya pemberantasan korupsi. Undang-undang tersebut juga. menghambat jalannya roda pemerintahan daerah.

"Karena itu regulasi ini harus direvisi, seharusnya pemberhentian sementara oleh Presiden dapat dilakukan ketika Kepala atau wakil kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Dahlan. (hsanuddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×