Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pada awal Oktober 2014, sebanyak 560 orang anggota DPR dilantik. Banyak dari mereka merupakan wajah baru. Namun, tak sedikit dari mereka adalah legislator berwajah lama.
Selama satu bulan pasca-dilantik, hampir setiap hari polah dan tingkah laku “wakil rakyat yang terhormat” ini disorot awak media. Sayangnya, sorotan itu bukan karena prestasi mereka dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang terbengkalai melainkan karena aksi berebut kursi kekuasaan di parlemen.
Ketika drama pemilihan lima pimpinan DPR, Koalisi Indonesia Hebat akhirnya harus bertekuk lutut kepada Koalisi Merah Putih. Bergabungnya Fraksi Demokrat ke KMP, membuat KIH tak dapat mengajukan paket pimpinan. Saat itu, posisi perbandingan fraksi antara KMP dan KIH yakni 6:4.
Sesuai dengan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dalam pengajuan calon pimpinan DPR berlaku sistem paket, dimana setiap fraksi hanya dapat mengajukan satu calon. KIH yang hanya terdiri atas empat fraksi akhirnya tak dapat mengajukan calon. Mereka kemudian memilih walk out sebagai bentuk rasa kekecewaan.
Sementara itu, proses pemilihan pimpinan dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Popong Otje Djundjunan dari F-PG itu akhirnya memutuskan lima pimpinan DPR baru. Kelimanya adalah Setya Novanto (F-PG) sebagai ketua, dan empat wakil ketua yakni Agus Hermanto (F-Demokrat), Fahri Hamzah (F-PKS), Fadli Zon (F-Gerindra) dan Taufik Kurniawan (F-PAN).
Polemik berkelanjutan
Sejak awal, keberadaan UU MD3 diprediksi akan membuat KIH tak bertaring di parlemen. Meskipun, koalisi itu menjadi koalisi yang memenangkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla saat Pilpres 2014 lalu.
Terbukti, setelah pemilihan pimpinan DPR, parlemen kemudian menggelar pemilihan pimpinan komisi dan badan pada alat kelengkapan dewan (AKD). Lagi-lagi, drama pemilihan kembali terulang.
Dalam 30 hari, setidaknya empat kali sidang paripurna digelar untuk menetapkan pimpinan AKD. Hambatan muncul ketika KIH enggan menyerahkan komposisi nama anggota fraksi mereka untuk mengisi AKD.
"Kami lima fraksi ditambah PPP, bagilah (pimpinan alat kelengkapan) secara proporsional)," kata politisi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, Senin (27/10). "Kalau mereka (KMP) punya niat baik politik, kami akan berlanjut pembahasan selanjutnya."
KIH sadar apabila mengacu pada UU MD3, maka koalisi itu akan kembali mengalami kekalahan telak dari KMP. Namun, rupanya lobi yang dilakukan KIH tak berjalan baik.
Politisi PDI Perjuangan lainnya, Aria Bima mengatakan, KIH meminta alokasi 16 dari 47 kursi pimpinan yang ada. Namun, menurut dia, KMP hanya bersedia memberi jatah enam kursi pimpinan untuk dibagi kepada seluruh fraksi KIH.
Presiden Joko Widodo tentu saja bekerja tak menunggu polemik di DPR usai. Dia menetapkan kabinetnya pada Minggu (26/10/2014), dalam rentang sepekan setelah dilantik. Pada saat bersamaan, DPR yang dilantik jauh lebih awal malah masih berkutat di persoalan pengisian struktur kelembagaan.
Meski KIH tak kunjung menyerahkan komposisi nama anggota mereka, pemilihan AKD tetap berlangsung pada Rabu (29/10/2014). Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pimpinan DPR telah melayangkan surat undangan kepada KIH agar hadir tetapi tak dipenuhi.
"Yang salah siapa? Kami sudah berikan kesempatan empat kali (paripurna), tapi tidak juga diserahkan (usulannya)," kata Fahri. Pimpinan DPR dan KMP tetap melangsungkan rapat pemilihan karena mengacu kepada Pasal 251 ayat (1) sampai (5) Tata Tertib DPR. Sebaliknya, KIH berpegang pada Pasal 284 ayat (1) dari aturan yang sama.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid pun menyalahkan KIH. Menurut dia, KIH tidak menggunakan kesempatan yang ada untuk melakukan lobi dengan baik. Sehingga, pimpinan DPR bertindak tegas sesuai Tata Tertib.
"Kemarin kan mereka minta untuk diulur sampai waktu tertentu. Kalau ikuti tata tertib, skorsing itu hanya berlaku dua kali. Satu kali 24 jam. Ini kan sampai paripurna yang keempat. Kurang leluasa apa? Setelah itu mereka minta lagi menunggu kabinet Jokowi, kabinet Jokowi sudah disampaikan nggak juga (setor). Kurangnya apa coba?" papar dia.
Yang terjadi kemudian, KIH yang sudah dipastikan tak dapat satu pun kursi pimpinan membuat manuver baru. Koalisi ini membentuk formasi pimpinan tandingan.
Politisi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, pimpinan DPR tandingan terbentuk lantaran selama ini pimpinan DPR yang ada tidak pernah mengakomodir aspirasi yang disampaikan KIH. "Pimpinan sudah secara nyata mengabaikan hak paling pokok anggotanya, yakni hak untuk menyatakan pendapat. Itu jelas melanggar tata tertib," kata politisi PDI-P, Arif Wibowo, Rabu.
Sebagai komposisi, pimpinan DPR tandingan itu diketuai oleh Pramono Anung (F-PDI-P). Sementara, empat wakil ketua adalah Abdul Kadir Karding (F-PKB), Saifullah Tamliha (F-PPP), Patrice Rio Capella (F-Nasdem), dan Dossy Iskandar (F-Hanura).
Tak hanya membentuk pimpinan DPR tandingan, mereka juga melayangkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR. Anggota Fraksi PKB Daniel Johan mengatakan, mosi dilayangkan lantaran pimpinan DPR dianggap tidak layak dan bersikap layaknya diktaktor.
Dan pimpinan DPR RI menempatkan diri bukan sebagai pimpinan seluruh anggota tetapi melakukan keberpihakan yang diskirimitnatif, tidak demokratis dan tidak adil,” kata Daniel kepada Kompas.com, Kamis (30/10/2014).
Parlemen terbelah
Peneliti Divisi Kajian Hukum Tata Negara Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (SIGMA), M Imam Nasef, mengatakan dalam perspektif ketatanegaraan dikenal istilah divided government, di mana parpol yang menguasai parlemen berseberangan dengan parpol pengusung presiden dan wakil presiden saat pemilu.
Menurut Nasef, kondisi seperti seperti itu sangat baik untuk meningkatkan konsolidasi demokrasi di dalam sistem pemerintahan presidensial karena parlemen seharusnya menjalankan fungsi sebagai lembaga pengontrol pemerintah.
“Divided government dalam sistem pemerintahan presidensial sebenarnya memiliki sisi positif untuk memaksimalkan fungsi checks and balances, karena eksekutif akan diawasi secara ketat oleh legislatif,” ujar Nasef.
Namun, kata Nasef, yang terjadi di Indonesia bukan hanya divided government melainkan juga divided parliament antara KIH dan KMP. Menurut dia, jika konflik antara KIH dan KMP di parlemen tak kunjung berakhir, maka akan menggangu kinerja pemerintah.
Pasalnya, sejumlah kebijakan pemerintah yang memerlukan peran dan andil DPR tidak dapat terealisasikan karena mereka terlalu sibuk konflik. Menurut dia, langkah KIH di parlemen yang membuat polemik berlarut akan dinilai kontraproduktif oleh publik.
“Bagaimana mungkin bisa melakukan checks and balances kalau di internal DPR saja tidak 'balance'? DPR sangat berpotensi 'lumpuh' bahkan 'mandul' kalau terus-terusan disibukkan dengan konflik internal akibat adanya divided parliament ini,” tegas dia.
Jadi, kapankah DPR akan bekerja sesuai fungsinya? (Dani Prabowo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News