CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Pengamat: Kisruh di DPR karena buntut UU MD3


Kamis, 30 Oktober 2014 / 13:12 WIB
Pengamat: Kisruh di DPR karena buntut UU MD3
ILUSTRASI. Sumber Alfaria Trijaya (AMRT) akan membagikan dividen total Rp 999 miliar.


Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menilai dualisme kepemimpinan di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) merupakan buntut dari cacatnya legitimasi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ia mengatakan, Produk hukum yang cacat akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan. 

Secara legal formal, kata Nico, KMP memang punya landasan hukum dalam memilih paket komisi sekaligus alat kelengkapan Dewan lainnya. Sementara, dasar hukum KIH membentuk pimpinan komisi tandingan sangat lemah. 

"Tapi, UU MD3 itu disahkan dalam suasana yang cacat legitimasi politiknya karena itu diputuskan sepihak, bukan oleh dua kekuatan politik yang ada. Tidak heran implikasinya menimbulkan krisis legitimasi seperti ini," ujar Nico, kepada Kompas.com, Kamis (30/10/2014). 

Menurut Nico, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meredam tensi politik kedua kubu. Pertama, mengoreksi UU MD3 dan mengembalikan semangat proses politik di parlemen yang demokratis, dan kedua, jika KMP memang ingin mengutamakan kepentingan bangsa, seharusnya tidak menyapu bersih kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan. 

Nico mengatakan, KMP harus lebih akomodatif dengan memberikan kursi pimpinan komisi kepada KIH agar proses politik di DPR memiliki legitimasi kuat karena diikuti semua kekuatan politik.

Yang terjadi saat ini, menurutnya, ada pemaksaan mengisi kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan sehingga menunjukan bahwa kekuatan politik yang ingin menguasai parlemen adalah kekuatan yang membahayakan bagi demokrasi. 

"Di sisi lain, KIH juga perlu memperbaiki gaya komunikasi politik supaya menciptakan politik yang integratif dan tidak memperuncing polarisasi yang sudah ada," ujar Nico. 

Pada Rabu (29/10/2014) kemarin, digelar pemilihan dan penetapan pimpinan komisi. Dalam sidang pemilihan, parpol KIH memilih tidak hadir dan menggelar pemilihan tandingan. Hasil pemilihan yang dipimpin Pimpinan DPR, 9 dari 11 komisi menempatkan para politisi KMP sebagai pimpinan. Hanya dua komisi yaitu Komisi V dan Komisi XI yang belum menggelar proses pemilihan pimpinan.(Fabian Januarius Kuwado)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×