kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Jurus BI Rate tak mempan, BI diminta kreatif


Kamis, 26 September 2013 / 07:02 WIB
Jurus BI Rate tak mempan, BI diminta kreatif
ILUSTRASI. Ilustrasi kumpulan ucapan Waisak 2022. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.


Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) harus lebih kreatif membuat kebijakan moneter dalam menghadapi penghentian kebijakan quantitative easing (QE) oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Apalagi, kebijakan menaikkan suku bunga acuan terbukti tidak ampuh meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Apalagi ke depan angka inflasi Indonesia diprediksi melandai.

Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengusulkan, salah satu instrumen moneter yang bisa dilakukan untuk menghadapi tapering  AS adalah menyempurnakan aturan foreign exchange swap. Caranya: dengan memperpanjang tenornya menjadi satu tahun.

Anton percaya cara ini dinilai bisa menambah jumlah cadangan devisa menjadi lebih besar. "Bila FX swap tenornya lebih panjang bisa semakin menarik bagi perbankan untuk menggunakan," ujar Anton, Rabu (25/9) di Jakarta.

Selain itu BI bisa menggunakan cara lain dengan mengaktifkan perdagangan valas dalam negeri dengan sistem derivatif. Hal ini akan membuat perdagangan valuta asing dalam negeri lebih volatile dan ramai.

Tujuannya agar keberadaan pasar uang di luar negeri seperti non deliverable forward (NDF) yang selama ini selalu menyebabkan mata uang garuda terpuruk bisa diimbangi.

Anton juga kurang sepakat jika pilihan BI kembali mengerek suku bunga acuan BI rate. Seperti kita tahu, sejak Mei 2013 BI sudah mengerek suku bunga BI rate hingga 1,5 basis poin menjadi 7,25%. Kebijakan moneter ketat seperti ini jelas membuat industri di dalam negeri terganggu.

Selain itu, semakin tinggi BI rate akan menambah beban perusahaan dalam membayar bunga utang, baik utang yang dipakai untuk belanja modal maupun untuk produksi. Dampaknya bila produksi industri terganggu akan muncul ancam Pemutusan Hubungan kerja (PHK).

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetyantono  sepakat bila  kebijakan BI rate sudah cukup di level 7,25%. Sebab kebijakan suku bunga tinggi terbukti tak manjur menahan pelemahan rupiah. Rabu (25/9) kemarin, rupiah kembali melemah ke level  Rp 11,569 per dollar.

Ia melihat suku bunga saat ini sudah  level tinggi untuk meredam inflasi yang pada bulan ini diprediksi melandai. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi inflasi September akan mengalami penurunan di level 0,1% atau jauh lebih rendah jika dibandingkan Agustus 2013 lalu yang sebesar 1,12%.

BPS melihat beberapa harga komoditi sudah mengalami penurunan. Di sisi lain permintaan terhadap barang dan jasa juga mulai berkurang karena sebagian besar barang impor harganya sudah mahal akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×