kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jumlah siswa yang lanjut perguruan tinggi di Indonesia tertinggal jauh dari tetangga


Rabu, 02 September 2020 / 21:54 WIB
Jumlah siswa yang lanjut perguruan tinggi di Indonesia tertinggal jauh dari tetangga
ILUSTRASI. Mahasiwi Poman Astra mengikuti praktikum di Politeknik Manufaktur Astra, Jakarta, Kamis (1/11/2018). Pemerintah memfokuskan pembangunan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan vokasi sebagai salah satu bagian dari kebijak


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan Mohamad Nasir, mengungkapkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia baru capai 34,58%. Angka tersebut tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yaitu hampir 50%, Singapura 78%.

"Bahwa masalah Indonesia itu rakyat Indonesia yang ikut pendidikan tinggi baru 34,58% ini menyedihkan betul. Sementara negara tetangga kita Malaysia itu sudah dekat 50%, Singapura itu ada 78% kalau kita berbicara Korea Selatan itu udah 98% hampir seluruh rakyatnya usia 18-23 tahun itu sudah mengenyam pendidikan tinggi," jelas Nasir saat Webinar Kompas Talks with Universitas Terbuka (UT) dengan tema 'Menyusun Peta Jalan Pembelajaran Jarak Jauh', pada Rabu (2/9).

Baca Juga: Konektivitas masih jadi kendala PJJ di perguruan tinggi

Terdapat dua kemungkinan dari besarnya masih minimnya APK pendidikan tinggi Indonesia. Pertama ialah lulusan sekolah menengah atas maupun kejuruan terkendala dengan biaya, dan kedua mereka memilih untuk langsung bekerja.

"Jadi ada sekitar 65% kita hadapi sekarang, bagaimana kita meningkatkan kualitas sumber daya manusia kalau kita sampai sekarang masih 34,58% tingkat masyarakat yang ikut pendidikan tinggi itu data tahun 2019," imbuhnya.

Selain itu, masalah yang dihadapi di sektor pendidikan tinggi ialah perguruan tinggi (PT) secara kualitas belum merata. Baik itu antara sesama perguruan tinggi negeri (PTN), atau PTN dengan perguruan tinggi swasta (PTS), hingga PT di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Meski Nasir menyebut standar dari semua pendidikan tinggi ditentukan oleh Ditjen Dikti Kemendikbud.

"Saya berbicara dengan Kadin waktu itu, kita itu lulusan sumber daya manusianya itu banyak, apakah nggak bisa dipakai di industri? tanya saya, nah orang industri bilang saya itu butuh pak tapi begitu dites banyak yang nggak lulus. Nah jadi ada kompetensi yang nggak mampu dengan kebutuhan," ungkap Nasir.

Baca Juga: Huawei dan BPPT berikan pelatihan kompetensi SDM di bidang teknologi dan informasi

Maka hal itu menjadi bukti adanya kesulitan mengukur dan mengevaluasi kualitas pendidikan tinggi, serta adanya ketidaksamaan materi pembelajaran antar PT.

"Ketidaksamaan materi pembelajaran antara pendidikan tinggi baik antar PTN dengan PTN, PT di kota dan daerah, Jawa dan luar Jawa ini ini memang sangat beragam sekali," kata Nasir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×