Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah batal menaikkan cukai rokok tahun ini. Padahal kebaikan tersebut sudah masuk dalam RAPBN 2019. Ketetapan pembatalan kenaikan cukai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018.
Pembatalan rencana kenaikan cukai rokok kerap terjadi pada tahun politik. Pola serupa ditemukan pada tahun 2014 silam.
Usut punya usut, pembatalan kenaikan cukai rokok ini bermula dari diskusi Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 11 Oktober 2018. Bahtsul Masail adalah lembaga di bawah PBNU yang membahas masalah terkini yang membutuhkan kepastian hukum berlandaskan rujukan hukum Islam. Dalam diskusi mereka membahas Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang tertuang dalam PMK 146/2017. Beleid tersebut mengatur tentang kenaikan tarif cukai pada tahun 2018.
Dalam diskusi tersebut PBNU mengundang beberapa pihak terkait seperti perwakilan Kementerian Perindustrian (Kemperin), Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) dan perwakilan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemkeu). Dalam kajian tersebut, PBNU memutuskan peraturan kenaikan cukai dan simplifikasi belum memenuhi asas kemaslahatan terutama bagi petani tembakau dan industri rokok kecil dan menengah.
“Simplifikasi itu yang membuat tidak adil antara industri besar dan kecil,” ujar Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Sarmidi Husna saat ditemui Kontan.co.id di kantor pusat PBNU, Senin (13/5).
Saat itu PBNU juga menyampaikan kekhawatiran atas matinya industri rokok kecil dan menengah terutama rokok kretek apabila simplifikasi dilaksanakan. Pasalnya peraturan simplifikasi ini membuat industri rokok kecil dan menengah tidak memiliki daya saing. Apabila ini dibiarkan, jelas Sarmidi, maka pembentukan harga di petani tembakau semakin dikuasai industri rokok besar.
“Di lapangan, petani itu menanam tembakau tidak bisa dijual ke tempat lain kecuali pabrik rokok. Nah, kalau yang kecil mati otomatis yang beli yang besar, nah bisa diatur itu. Hargain aja murah selesai. Apa gak rugi petani?” jelas Sarmidi.
Sarmidi mengatakan, diskusi Bathsul Masail baru bisa dilakukan apabila ada permintaan. Maka dari itu, diskusi tersebut dilaksanakan atas permintaan beberapa kelompok petani tembakau dan pengusaha rokok skala kecil menengah.
“Peraturan ini dianggap tidak berpihak kepada petani tembakau maupun industri tembakau kecil dan menengah maka beberapa kelompok termasuk petani dan pengusaha datang ke PBNU,” kata Sarmidi.
Sarmidi juga menjelaskan bahwa perusahaan rokok yang datang kepadanya merupakan industri rokok kecil dan menengah yang bergerak dalam pembuatan rokok kretek di Jawa Tengah. Tanpa memberi keterangan detil, perusahaan rokok tersebut merupakan salah satu anggota Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). “Yang datang ke sini salah satu perusahaan rokok kecil di Jawa Tengah, Kretek iya tangan, dia ikut GAPPRI,” ujarnya.
Dari hasil kajian tersebut lantas PBNU mengirim surat ke Kemkeu. Setelahnya, Sarmidi diundang oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Saat itu dia bertemu dengan Sidarto Danusubroto dan Sri Adiningsih. Dalam pertemuan tersebut juga turut hadir perwakilan Kemkeu, Kemenperin, Kemenaker dan GAPPRI.
Sarmidi mengaku senang karena pemerintah saat ini mendengarkan masukan NU. Apalagi ini terkait membela nasib petani tembakau yang menurutnya mayoritas merupakan anggota NU. Meskipun dia tidak menampik ini terkait dengan kepentingan politis. “Alhamdulilah didengar, mungkin terkait politis juga. Kalau gak didengar ini enam juta anggota NU lari kemana,” imbuh dia.
Adapun, Sarmidi menjelaskan bahwa enam juta anggota NU merupakan petani tembakau. Mereka tersebar di daerah Madura, Jember, Temanggung dan daerah lain yang memiliki potensi tanaman tembakau. Dia juga menambahkan suara politis PBNU dalam gelaran politik tahun ini memang condong ke pasangan Jokowi-Amin.
Sidarto Danusbroto mengonfirmasi ada pertemuan antara Wantimpres dengan PBNU dan beberapa perwakilan K/L. Pertemuan tersebut menghasilkan surat rekomendasi. Hanya saya Sidarto enggan menjelaskan isi surat rekomendasi tersebut. “Tidak untuk publik, hanya untuk presiden,” imbuh dia.
Kemkeu melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebenarnya telah menyiapkan kajian terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2019. Pasalnya, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai BKF Nasruddin Djoko Surjono menjelaskan bahwa pengenaan cukai adalah upaya paling efektif untuk menekan angka konsumsi rokok.
“Jadi kami selalu lakukan, dampaknya kepada inflasi, pertumbuhan, affordability, kemudian juga dampaknya terhadap penerimaan. Pembahasan cukai ini di tahun 2018 cukup panjang. Proses pembuatan kebijakan itu mengundang semua stakeholder sesuai amanat Undang-Undang Cukai,“ ujar Djoko saat ditemui Kontan akhir April lalu.
Dalam pembahasan tersebut Kemkeu mengundang beberapa kementerian antara lain, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Bappenas, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kantor Staf Presiden. “Itu sudah dua kali rapat,” imbuhnya.
Selain itu, mereka juga mengundang lembaga swadaya masyarakat dan akademisi, seperti Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lentera Anak dan Center for Indonesia Strategic Development (CISDI). Dalam pertemuan tersebut disampaikan beberapa aspek pertimbangan yang kemudian dibawa dalam rapat koordinasi di Kemenko Ekonomi pada tanggal 3 Oktober 2018.
Dalam kajian yang dilakukan CISDI pada September lalu, misal pemasukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hanya sekitar Rp 150 triliun, sedangkan biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp 600 triliun. Penyakit tersebut antara lain kanker, stroke, ginjal kronik dan diabetes melitus.
Hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013-2018 menunjukkan prevalensi penyakit tersebut menunjukkan kenaikan. Prevalensi kanker naik dari 1,3% menjadi 1,8%, stroke dari 7% menjadi 10,9%, penyakit ginjal kronik dari 2% menjadi 3,8% dan diabetes melitus dari 6,9% menjadi 8,5%. Dalam Riskesdas tersebut juga dijelaskan melambungnya prevalensi penyakit tidak menular tersebut berkorelasi dengan gaya hidup seperti merokok, minimnya aktivitas fisik, minimnya asupan buah dan sayur serta konsumsi minuman beralkohol.
Dalam hal ini, rokok memang bukan penyebab tunggal, tetapi konsumsi rokok memiliki kontribusi paling signifikan. Buntut dari naiknya prevalensi penyakit tersebut BPJS mengalami financial bleeding pada 2018 mencapai Rp 16,5 triliun. Data terakhir menjelaskan hasil audit BPKP defisit BPJS Kesehatan tahun lalu mencapai Rp 9,1 triliun.
Dalam rakor tersebut, Djoko juga menjelaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan salah satu pihak yang kekeuh menyatakan bahwa cukai rokok harus tetap naik. Kondisi tersebut sejalan dengan arti dasar pengenaan cukai pada barang tertentu untuk mengendalikan konsumsi. Di sisi lain, ini sebagai upaya untuk mencapai tujuan SDGs demi meningkatkan kualitas hidup manusia terutama dari sisi kesehatan. “Ibu concern, karena ibu tahu teknokratiknya tahu,” jelas dia.
Sementara itu ada perbedaan pendapat di level kementerian/lembaga (K/L). Kementerian Perindustrian dan Kemko Ekonomi bersikap untuk menahan cukai rokok dengan alasan industri rokok telah mengalami tekanan yang berimbas pada penyerapan lapangan kerja.
GAPPRI mengapresiasi keputusan pemerintah Sebelumnya, GAPPRI telah menulis surat kepada Menteri Keuangan tertanggal 23 April 2018 perihal Usulan Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2019. GAPPRI juga telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo melalui surat bernomor D.1018/GAPPRI/X/2018, tertanggal 22 Oktober 2018, perihal Kebijakan Cukai Hasil Tembakau ke Depan Membuat Gelisah Industri Kretek.
Ketua Umum GAPPRI Henry Nayoan mengapresiasi atas kebijakan cukai tembakau 2019 yang tetap mempertahankan struktur batasan produksi tetap 10 layer dan tarif cukai di tahun ini tidak naik. “Ini akan memberi kesempatan industri untuk pemulihan,” jelas Henry saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/5).
Sementara itu, Direktur Bea dan Cukai Kemkeu Heru Pambudi memberi sinyal bahwa pemerintah akan terus melakukan pengendalian produksi rokok salah satunya dengan menaikkan tarif cukai rokok. Meskipun hingga saat ini pemerintah perlu melakukan kajian terlebih dahulu. “Kami akan review, ini penting untuk melihat pasca-saat ini (pemilu). Kan masih banyak kegiatan,” jelas Heru usai rapat dengan DPR, Senin (20/5).
Heru tak menampik konsumsi rokok hingga pertengahan tahun ini menunjukkan kenaikan. Kendati demikian, Heru menjelaskan kenaikan ini akibat adanya Pemilu serta dampak penertiban rokok ilegal.
Tanpa kenaikan tarif, Heru menargetkan penerimaan cukai rokok hasil tembakau tahun ini Rp 158,8 triliun. Sementara itu upaya pengejaran target hanya pencabutan fasilitas bebas cukai di zona perdagangan bebas. Penerapan ini berpotensi menambah penerimaan sebesar Rp 457 miliar.
====
Update (31/5; 10:37 WIB)
Terkait berita tentang hal ini yang juga dimuat dalam edisi cetak Harian KONTAN, redaksi menerima surat hak jawab dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdatul Ulama (LBM-PBNU). Berikut ini salinan lengkap surat sanggahan tersebut:
Berdasarkan pemberitaan di Harian Kontan dengan judul "Lobi-Lobi PBNU Menggagalkan Kenaikan Cukai Rokok 2019" pada Selasa 28 Mei 2019 dan "Antiklimaks Rencana Kenaikan Cukai" pada Rabu, 29 Mei 2019, kami menyampaikan bahwa penulis/editor telah menyajikan berita yang tidak sesuai dengan hasil wawancara.
Bersama ini kami perlu menyampaikan hak jawab kami sebagai sanggahan dari berita tersebut:
1. Bahwa ada lobi-lobi kuat dari ulama dalam menggagalkan kenaikan cukai adalah tidak benar. Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdatul Ulama (LBM-PBNU) tidak melakukan upaya lobi kepada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) terkait dengan pembatalan rencana kenaikan cukai. LBM-PBNU hanya mendapatkan undangan dari Wantimpres untuk melakukan audiensi dengan kementerian lainnya dalam membahas keresahan dari petani tembakau dan pengusaha rokok skala kecil menengah akibat dari implementasi dari pelaksanaan kebijakan tarif cukai dan hasil tembakau.
2. Bahwa pembatalan kenaikan cukai tahun ini bukan hanya faktor politik. Pembatalan cukai rokok bermula dari diskusi Bahtsul Masail oleh LBM-PBNU pada 11 Oktober 2018 adalah tidak benar. LBM-PBNU menekankan bahwa sikap yang diambil oleh pemerintah dimungkinkan terkait dengan alasan tahun politik. LBM-PBNU sebelumnya mengirimkan surat rekomendasi kepada Kementerian Keuangan. Pemerintah megambil keputusan dengan mempertimbangkan 6 (enam) juta nahdliyin (warga NU) yang merupakan petani tembaau.
3. Bahwa Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto memastikan pertemuan LBM-PBNU dan beberapa perwakilan instansi pemerintah menghasilkan rekomendasi terkait kebijakan cukai. Rekomendasi ini diduga berlawanan dengan rencana kebijakan kenaikan cukai yang digagas Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak awal 2018 adalah tidak benar. Wantimpres tidak membuat rekomendasi terkait kebijakan cukai. Wantimpres melakukan audiensi untuk mendengarkan pendapat dari kementerian dan LBM-PBNU tanpa membuat rekomendasi yang diduga berlawanan dengan kebijakan kenaikan cukai Kemenkeu.
Berdasarkan poin di atas, penulis/editor telah memasukkan opini pribadinya ke dalam judul maupun isi berita. Oleh karena itu, kami meminta Harian Kontan untuk merevisi judul maupun isi berita yang menyatakan fakta keliru yang mengakibatkan adanya tuduhan kepada PBNU.
Demikian surat hak jawab ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terimakasih.
Hormat kami,
Sarmidi Husna, MA
Sekretaris LBM-PBNU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News