Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA Pemerintah harus bisa menjaga momentum daya beli masyarakat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, perlu disiapkan berbagai paket kebijakan agar daya beli masyarakat dapat terjaga dan berefek pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah ditetapkan pemerintah ternyata masih memberikan andil terhadap inflasi. Pasalnya, inflasi Oktober 2022 yang sebesar 5,71% disumbang oleh harga BMM hingga tarif angkutan.
"Efek dari kenaikan harga BBM ini ternyata tidak hanya sebentar efeknya hanya satu bulan, tapi masih berlanjut," ujar Bhima kepada Kontan.co.idm, Senin (21/11).
Baca Juga: Belanja Masyarakat Meningkat, Ekonom: Daya Beli Masih Solid
Bahkan Bhima memperkirakan efek kenaikan BBM tersebut masih akan terasa di tahun depan dari sisi pengeluaran masyarakat dan efeknya juga akan terasa pada sektor pangan, terutama bahan pokok pangan.
Selain itu, Bhima memperkirakan inflasi November dan Desember tahun ini masih akan disumbang oleh harga energi.
Oleh karena itu, Bhima menyarankan pemerintah guna menjaga daya beli masyarakat dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah perlu meluncurkan suatu paket kebijakan yang berisi berbagai relaksasi. Misalnya saja, dengan menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Yang terjadi justru tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%. Yang harusnya ada diskon tarif PPN diberikan untuk menstimulus konsumsi rumah tangga. Nah itu yang tidak dilakukan, jadi pajaknya justru terkesan semakin agresif ya," katanya.
Baca Juga: Jumlah PHK Karyawan di Industri TPT Masih Terus Bertambah
Sementara itu dari sisi masyarakat memandang bahwa masih ada belanja yang tidak diserap dengan optimal.
Menurutnya, hal tersebut juga berdampak kepada daya beli masyarakat lantaran banyak pemerintah daerah (pemda) misalnya yang menahan belanjanya. Padahal hal tersebut dapat membantu para pelaku usaha UMKM agar bisa ikut pengadaan barang dan jasa serta menciptakan lapangan kerja baru.
"Tapi dengan masih buruknya tingkat serapan anggaran ini jadi kurang optimal realisasi dari belanja pemerintah terhadap penopang daya beli," katanya.
Kemudian, belum lama ini Bank Indonesia (BI) juga kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps. Bhima menilai, kebijakan tersebut akan memicu terjadinya pelemahan daya beli masyarakat juga.
Pasalnya, konsumen kelas menengah bawah yang ingin membeli kendaraan bermotor atau ingin membeli properti melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan terdampak dengan kebijakan tersebut.
Tidak hanya itu, Bhima juga melihat tren penurunan harga minyak mentah sehingga menurutnya ada opsi pemerintah untuk kembali menurunkan harga BBM jenis subsidi agar daya beli masyarakat dapat terjaga. Ia menyarankan agar BBM subsidi bisa diturunkan hingga kisaran 8%.
Baca Juga: Suku Bunga Acuan Naik, Begini Prospek Saham Sektor Properti
Di sisi lain, perlu adanya relaksasi dan stimulus bagi sektor padat karya. Menurut Bhima, hal tersebut bisa dilakukan untuk mengantisipasi guncangan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berakibat pada menurunnya daya beli secara agregat.
"Nah itu langkah-langkah yang harusnya pemerintah lakukan sekarang ini. Harusnya sudah ada paket kebijakan tapi belum keluar juga, baru fragmentasi," katanya.
Untuk itu, menurut Bhima, dengan kondisi perekonomian yang belum pulih dari pandemi Covid-19, Bhima menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan yang justru akan memperburuk daya beli masyarakat. Namun, harus tetap bisa menjaga daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi juga bisa dijaga.
Baca Juga: Pengusaha Sampaikan Keberatan Atas Terbitnya Permenaker 18/2022
"Nah ini jadi tantangan double ya. Ibaratnya setelah jatuh tertimpa tangga bagi konsumen menengah bawah," ungkap Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News