Reporter: Dikky Setiawan, Muhammad Afandi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami keterlibatan Lucas dalam membantu pelarian Eddy Sindoro, tersangka perkara suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Senin kemarin, (8/10) KPK memanggil Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta, Enang Supriyadi Syamsi. Kamis pekan lalu, KPK juga telah memeriksa pegawai imigrasi Bandara Soekarno Hatta Andi Sofyar untuk tersangka Lucas.
Pemanggilan saksi-saksi ini diperlukan untuk menambah bukti-bukti baru. Apalagi Lucas dianggap KPK tidak kooperatif dalam pemeriksaan lantaran menolak untuk diambil sampel suaranya. Kabarnya, sampel suara itu akan dicocokkan dengan hasil sadapan yang dilakukan oleh KPK.
Namun sebelumnya saat pemeriksaan di KPK, kepada media, Lucas mengatakan bahwa ia tidak pernah berkomunikasi dengan Eddy Sindoro dan tak tahu keberadaan Eddy. “Apa yang dituduhkan bahwa saya menghalangi penyidikan dan membantu Eddy Sindoro lolos dari Malaysia, keluar Indonesia saja saya tidak tahu," ujarnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya tidak akan terpengaruh dengan bantahan dan penolakan Lucas, karena penyidikan sudah didasarkan pada bukti yang kuat. “Pengambilan sampel suara tersangka LCS untuk kebutuhan pengecekan keidentikan suara yang bersangkutan dan bukti elektronik yang dimiliki KPK,” tegas Febri.
Lucas memang dikenal sebagai pengacara yang lihai. Tidak seperti pengacara kawakan lainnya, nama Lucas jarang muncul dipublik meskipun kasus-kasus yang ditanganinya banyak kasus besar. Salah satunya yaitu ia menjadi kuasa hukum Boedi Sampoerna, mantan pemilik pabrik rokok HM Sampoerna dalam kasus Bank Century.
Lucas juga menjadi pengacara Setya Novanto saat Setya tersandung kasus saham Freeport, atau yang dikenal dengan kasus "Papa Minta Saham".
Tak banyak yang mengetahui Lucas lantaran ia seringkali menggunakan nama-nama kantor hukum lain yang merupakan jaringannya. Namun di kalangan aparat penegak hukum nama Lucas tidaklah asing. Ia dikenal lihai dalam mengurus perkara-perkara melalui lobi-lobi yang dilakukan.
Seperti kemenangan Eddy Sindoro di Pengadilan Jakarta Pusat terkait Peninjauan Kembali (PK) anak usaha Lippo Group merupakan buah hasil Lucas dalam bidangnya. Lalu ada juga PK sengketa saham antara PT Aryaputra Teguharta (Ongko Group) dengan PT BFI Finance Indonesia yang dimenangkan oleh Aryaputra yang diwakili oleh Lucas sebagai kuasa hukumnya pada saat itu.
Hingga kini, sengketa saham antara Aryaputra dan BFI dan masih terus berlanjut meskipun sudah beberapa kali ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa putusan PK tersebut tidak bisa dieksekusi.
Kelihaian Lucas tak hanya soal memenangkan perkara, dengan jaringan kuat yang dimilikinya di kalangan aparat hukum, kabarnya ia bahkan sempat lolos dua kali dari operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK.
Itu sebabnya, KPK saat ini sangat hati-hati sekali dalam menangani perkara yang melibatkan Lucas. KPK juga bergerak cepat dalam menangani kasus ini. Paska Lucas ditetapkan sebagai tersangka, KPK lantas menggeledah kantor Lucas di kawasan Sudirman, dan apartemen Lucas di Jakarta Pusat. Saat memeriksa mobil Lucas, KPK bahkan menemukan uang sebanyak 40 ribu dollar Singapura.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan, Lucas saat ini telah disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena merintangi penyidikan KPK terkait Eddy Sindoro.
Pasal itu menyebut, barang siapa yang mencegah, menghalangi, atau menggagalkan dengan langsung atau tidak langsung terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, diancam hukuman antara 3 tahun - 12 tahun beserta denda antara Rp150 juta-Rp600 juta.
“LCS (Lucas) diduga telah melakukan perbuatan menghindarkan ESI (Eddy Sindoro) ketika yang bersangkutan ditangkap oleh otoritas Malaysia dan dideportasi kembali ke Indonesia, selanjutnya LCS berperan untuk tidak memasukan tersangka ESI ke wilayah yuridis Indonesia, melainkan dikeluarkan lagi ke luar negeri,” ujar Saut.
Pengacara kondang lainnya yang pernah dijadikan tersangka dengan pasal yang sama antara lain Fredrich Yunadi kuasa hukum Setya Novanto. Saat itu, Fredrick menghalang-halangi KPK saat ingin menangkap Setya Novanto. Fredrich akhirnya dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Sebelumnya, Otto Cornelis Kaligis juga pernah bernasib serupa ketika berhadapan dengan KPK.
Setelah ditetapkan tersangka pada Juli 2015 atas dugaan kasus pemberian suap kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan, pengacara senior itu akhirnya harus mendekam dipenjara hingga 10 tahun lamanya.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak tahun 2005 hingga saat ini, total ada 23 orang yang berprofesi sebagai advokat yang pernah dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ada tiga pola korupsi yang dilakukan oleh oknum advokat. Yaitu kasus penyuapan (16 pelaku), pemberian keterangan secara tidak benar (2 pelaku) dan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi (5 orang pelaku).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News