Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kualitas sumber daya manusia, riset, dan inovasi menjadi penentu utama daya saing ekonomi nasional. Tantangan seperti brain drain, rendahnya hilirisasi riset, serta minimnya keterlibatan industri menunjukkan, pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak bisa hanya bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie menegaskan, pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
“Tanpa investasi pada ide dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada kondisi steady state,” kata Stella, dalam keterangannya, Jumat (19/12). .
Mengacu teori pertumbuhan ekonomi Paul Romer, Stella menyebut, investasi pada sumber daya manusia, pengetahuan, dan inovasi memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian.
Peningkatan belanja riset sebesar 10% berpotensi mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sekitar 0,2% dalam jangka pendek dan hingga 0,9% dalam jangka panjang.
Pemerintah meningkatkan anggaran riset pada tahun 2025 menjadi Rp 3,2 triliun, melonjak 218% dibandingkan tahun sebelumnya. Dana tersebut diharapkan memperkuat universitas riset dengan fokus pada kualitas dan dampak ekonomi, bukan sekadar jumlah publikasi.
Baca Juga: Defisit APBN 2025 Diprediksi Mencapai 2,6% dari PDB, Ini Faktor Pendorongnya
Stella mencontohkan universitas riset global seperti Stanford University yang menghasilkan manfaat ekonomi tahunan triliunan dolar dan menciptakan jutaan lapangan kerja.
Ia juga menekankan pentingnya strategi spesialisasi riset. Menurutnya, investasi tidak efektif jika tersebar tipis di banyak bidang tanpa fokus pada sektor yang memiliki keunggulan kompetitif. Salah satu contoh adalah rumput laut, Indonesia masih banyak menjual bahan mentah meski menjadi produsen utama dunia.
Dukungan industri menjadi kunci lain. Di negara maju, mayoritas pendanaan riset berasal dari sektor swasta, sementara di Indonesia perannya masih terbatas.
“Industri berbasis teknologi dan ide saintifik memiliki margin keuntungan tertinggi. Karena itu, investasi riset seharusnya dipandang sebagai peluang bisnis, bukan beban,” kata Stella.
Sementara itu, lemahnya daya saing inovasi Indonesia juga dipengaruhi sistem pembelajaran yang masih berorientasi hafalan. Pola ini menghasilkan pengetahuan yang tidak terkonversi menjadi inovasi dan solusi ekonomi.
Data Global Innovation Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 55 dunia, mencerminkan kesenjangan antara kapasitas riset dan output bernilai tambah.
Ke depan, penguatan kebijakan berbasis data, kolaborasi riset, serta strategi menarik kembali talenta diaspora dinilai krusial untuk mengubah tantangan tersebut menjadi modal pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Selanjutnya: BSSR Akan Bagi Dividen Interim II Senilai US$ 20 Juta, Ini Jadwal Lengkapnya
Menarik Dibaca: Berlibur ke Dubai, Ini 5 Tradisi Uni Emirat Arab yang Wajib Diketahui
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













