kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah pasal yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, adakah hukuman mati?


Senin, 07 Desember 2020 / 00:11 WIB
Inilah pasal yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, adakah hukuman mati?
ILUSTRASI. Menteri Sosial Juliari P Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID -  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firly Bahuri pada Minggu, 6 Desember 2020 menyatakan penyidik KPK telah menetapkan Menteri Sosial JPB (Juliari Peter Batubara) sebagai tersanka kasus suap pengadaan bantuan sosial dalam rangka penanganan bencana non alam pandemi virus corona Covid-19.

"Kepada JPB, disangkakan pasal 12A dan 12B atau pasal 11 UU No 31 1999/ diubah UU 20 2001 tentang Tindak Pidan Korupsi JO pasal 55 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), kata Firli.

Sebagai gambaran pasal-pasal yang dikenakan kepada tersangka JPB ini tidak mencakup hukuman maksimal yakni pidana seumur hidup dan hukuman mati. 

Misalnya pada  Pasal 11 menyebutkan:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 

Lalu Pasal 12 juga tidak memberikan ancaman hukuman mati, pasal ini berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongann, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau pengawasan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Sedangkan Pasal 12 A berbunyi:

SELANJUTNYA>>>

Sedangkan Pasal 12 A berbunyi:
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Adapun Pasal 12 B berbunyi:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sementara Pasal 55 KUHP menyebutkan:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Seperti kita tahu KPK telah memiliki barang bukti berupa yang sebesar Rp 14,5 miliar dari dugaan tindak pidana korpusi yang dilakukan oleh Juliari dkk.

Barang bukti ini berupa: 
SELANJUTNYA>>>


Barang bukti ini berupa: 

Pertama, uang rupiah sebesar Rp 11,9 miliar. 

Kedua, mata uang dollar Amerika Serikat US$ 171.085 setara Rp 2,42 miliar

Ketiga, mata uang dollar Singapura SG$ 23.000 setara Rp 243 juta.

Sebagai gambaran total bansos per bulan bagi warga DKI Jakarta melalui Kementerian Sosial sebanyak 1,3 juta paket.  

Pada kasus dugaan korupsi Juliari Batubara dkk ini KPK menetapkan lima orang tersangka yakni JPB Menteri Sosial, MJS, AW, IM dan HS

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Moh. Mahfud MD, menilai bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi hukuman mati. 

Hukuman maksimal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)  UU No 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999. 

Mengutip Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 

Sementara Penjelasan Pasal 2 ayat (2)  UU No 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999, berbunyi: 

"Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi." 

Menurut Mahfud ada empat syarat untuk memenuhi unsur keadaan tertentu. 

SELANJUTNYA>>>

"Menurut saya empat hal ini tidak langsung diterapkan secara definitif," katanya saat wawancara di program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, yang tampil pada Minggu 6 Desember 2020.
 
Pertama, Negara dalam keadaan bahaya. Nah sekarang Mahfud menyeut negara tidak dalam keadaan bahaya berdasarkan Undang - Undang.

Kedua. Sedang terjadi Bencana alam nasional. Sedangkan sekarang ini yang terjadi pemerintah menyebut sebagai bencana non alam. Meskipun masyarakat sebagian beranggapan justru banyak pihak menybeut dampaknya lebih bebsar dibandingkan dengan bencana alam.

Ketiga, negara lam keadan krisis ekonomi dan krisis moneter. Sekaran negara Indonesia sedang resesi, hanya saja resesi tidak sama dengan krisis ekonomi. Karena resesi terjadi saat pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut mengalami minus atau negatif. 

"Tinggal mencari tafsinrya tentang ini. Mungkin KPK sulit menemukan kaitan langsung syarat yang terjadi pada Pak Juliari Batubara,"katanya

Lalu apakah hal ini bisa berkembang? "Bisa asal KPK bisa mencari ahli untuk melihat apakah bencana nasional lebih kecil dari bencana covid yang telah ditetapkan pemerintahberdasarkan perpres," kata Mahfud. 

Apakah krisis ekonomi dan krisis moneter sama dengan keadaan yang kita alami sekarang. Kalau secara ilmiah bisa ditemukan dan dijelaskan, maka guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini berpendapat dakwaan dan proses penuntutan dalam persidangan bisa diarahkan ke hukuman mati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×