Reporter: Siti Masitoh, Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoli menegaskan, Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena Indonesia tidak ingin menjadi sebuah negara yang liberal.
"Berbeda dengan apa yang diputuskan oleh mahkamah konstitusi, negara kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan pasal penghinaan presiden ini tidak jadi ada dalam RUU KUHP,” tegas Yasonna, Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI dengan Kementrian Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Rabu (9/6).
Definisi pasal penghinaan presiden yang dimaksud Yasonna adalah, jika penghinaan tersebut menyangkut dengan personal dari presiden dan wakil presiden.
Pasal penghinaan presiden ini mengatur seperti menghina fisik, atau kalimat yang tidak pantas. Terkecuali seseorang mengkritik kinerja presiden atau pemeritnahan dan kebijakannya, bukan menjadi ranah pasal penghinaan presiden.
“Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam isu, tapi dia tenag-tenag saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah dengan pasal itu. Tetapi, apakah kita akan biarkan presiden yang akan datang dibegitukan?,” ujar Yasonna.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan sebelum dirinya menjadi Menko Polhukam ada polemik perlu atau tidaknya pasal penghinaan Presiden ini masuk KUHP.
Mahfud melalui akun twitternya mengaku dirinya telah menanyakan sikap Presiden Joko Widodo terhadap pasal penghinaan presiden ini. "Jawabnya, terserah legislatif, mana yg bermanfaat bagi negara. Kalau bagi Presiden secara pribadi, masuk atau tidak masuk sama saja, toh presiden sering dihina tapi tak pernah memperkarakan," kata Mahfud.
Presiden Jokowi hanya berpesan yang terpenting dalam pembahasan RUU KUHP menyangkut pasal penghinaan presiden ini, apa yang baik bagi negara,
Menurut Mahfud isi dari pasal pasal di RUU KUHP itu telah digarap sejak lama yakni pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.
"Waktu itu (tahun 2005) saya anggota DPR. Menkum-HAM memberitahu ke DPR bahwa Pemerintah akan mengajukan RKUHP baru. Ketua Tim (penyusun RUU KUHP) adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah Pemerintahan Presiden SBY.
Sementara penghapusan Pasal Penghinaan Kepada Presiden dilakukan pada tahun 2006 atau jauh sebelum Mahfud MD masuk memimpin Mahkamah Konstitusi.
"Saya menjadi hakim MK pada April 2008. Sebelum saya jadi Menko RKUHP, RUU KUHP sudah disetujui oleh DPR yaitu pada September 2019, namuun pengesahannya di Paripurna DPR ditunda," terang Mahfud MD.
Seperti kita tahu Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal penghinaan presiden melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
SELANJUTNYA>>>
Adapun petika amar putusan yang mencabut pasal penghinaan presiden tersebut berbunyi:
- Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.
Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden di UU KUHP ini diambil dalam Rapat Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie pada Senin, 4 Desember 2006.
Rapat majelis hakim MK yang membahas pasal penghinaan presiden ini dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu sebagai Ketua merangkap Anggota, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono.
Selanjutnya Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden ini dimumukan pada 6 Desember 2006.
Adapun bunyi pasal yang dihapus ini adalah:
• Pasal 134 yang berbunyi, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”;
• Pasal 136 bis yang berbunyi, “Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya”;
• Pasal 137 Ayat (1) yang berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah”;
Ayat (2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
Namun, masih ada celah dari putusan majelis hakim MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden ini yang memungkinkan pengaturan hukum atas penghinaan presiden dan wakil presiden.
Majelis hakim MK dalam putusanya mengenai pasal penghinaan presiden mempertimbangkan pendapat ahli yakni Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H yang dalam pendapatnya di muka hakim.
SELANJUTNYA>>>
Andi Hamzah menyatakan menyatakan, "Tidak apa-apa kalau Pasal 134 KUHPidana dihapuskan, yang berarti masih bisa dihukum karena ada Pasal 310 KUHPidana tetapi harus diingat bahwa dalam Pasal 310 KUHPidana itu hukumannya lebih ringan dan merupakan delik aduan”.
Berdasarkan itulah, Maret 2015 pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerbitkan naskah akademik mengenai Rancangan Undang -Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ada enam alasan mengapa pemerintah perlu mempertahankannya ketentuan mengenai pasal Penghinaan Presiden. (Hal 126-129)
Pertama, kepentingan/benda hukum (rechtsbelangan/rechtsgood) atau nilai dasar (“basic values”) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah “martabat/derajat kemanusiaan” (human dignity) yang merupakan salah satu nilai-universal yang dijunjung tinggi;
Kedua, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai-universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai “rechtsdelict”, “intrinsically wrong”, “mala per se” dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara;
Ketiga, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara; hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;
Keempat, ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk; simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; Presiden/Wakil Presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan (Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati.
Kelima, dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak; terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan.
Keenam, karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality beforethe law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenisjenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dsb.) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.
SELANJUTNYA>>>
Keenam alasan inilah yang menjadi dasar pemerintah dan DPR kembali memasukkan pasal penghinaan presiden pada RUU KUHP.
Berdasarkan hasil pembahasan RUU KUHP hingga September 2019 pasal penghinaan presiden ini diatur dalam beberapa pasal meliputi:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri
Pada penjelasan Pasal Pasal 218 menyebutkan,
Ayat (1): Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai
Selain itu ada juga pengaturan di Pasal 219 yang berbunyi:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sementara pada pasal 220 yang juga berisi pasal penghinaan preisden menyatakan:
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal 220 RUU KUHP ini mengadopsi putusan hakim MK, yang menyatakan masih mengatur pasal penghinaan presiden yakni yang ada di pasal 310 undang-undang lama yang tidak dicabut atau dibatalkan oleh MK.
Selain itu RUU KUHP juga mengatur pasal penghinaan presiden di Bab IX mengatur Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Misalnya di Pasal 353 yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Ada juga pengauran di Pasal 354:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Pasal 439
Ayat (1)
Ketentuan ini memuat ketentuan dasar Tindak Pidana yang termasuk kategori penghinaan dalam Bab ini. Yang dimaksud dengan perbuatan “penghinaan” adalah menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.
Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang tersebut.
Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu Tindak Pidana. Tindak Pidana menurut ketentuan dalam Pasal ini objeknya adalah orang perseorangan. Penistaan terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan Pasal ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News