kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP


Kamis, 10 Juni 2021 / 10:54 WIB
Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP
ILUSTRASI. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan presiden karena Indonesia tidak mau jadi negara liberal. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.


Reporter: Siti Masitoh, Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

Adapun petika amar putusan yang mencabut pasal penghinaan presiden tersebut berbunyi:

  • Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya;
  • Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. 

Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden di UU KUHP ini diambil dalam Rapat Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie pada Senin, 4 Desember 2006.

Rapat  majelis hakim MK yang membahas pasal penghinaan presiden ini dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu sebagai Ketua merangkap Anggota, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono. 

Selanjutnya Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden ini dimumukan pada 6 Desember 2006.

Adapun bunyi pasal yang dihapus ini adalah: 
• Pasal 134 yang berbunyi, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”;

• Pasal 136 bis yang berbunyi, “Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya”;

• Pasal 137 Ayat (1) yang berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah”;

Ayat (2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.” 

Namun, masih ada celah dari putusan majelis hakim MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden ini yang memungkinkan pengaturan hukum atas penghinaan presiden dan wakil presiden. 

Majelis hakim MK dalam putusanya mengenai pasal penghinaan presiden mempertimbangkan pendapat ahli yakni Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H yang dalam pendapatnya di muka hakim.

SELANJUTNYA>>>



TERBARU

[X]
×